Etika
ialah suatu studi mengenai yang benar dan yang salah dan pilihan moral
yang dilakukan seseorang. Keputusan etika ialah suatu hal yang benar
mengenai perilaku standar. Etika bisnis mencakup hubungan antara
perusahaan dengan orang yang menginvestasi uangnya dalam perusahaan,
dengan konsumen, pegawai kreditur, saingan dan sebagainya. Orang – orang
bisnis diharapkan bertindak etis dalam berbagai aktivitasnya di
masayarakat.
Menjaga
etika adalah suatu hal yang sangat penting untuk melindungi reputasi
perusahaan. Masalah etika ini selalu dihadapi oleh para manajer dalam
keseharian kegiatan bisnis, namun harus selalu dijaga terus menerus,
sebab reputasi sebagai perusahaan yang etis tidak dibentuk dalam waktu
pendek, tapi akan terbentuk dalam jangka panjang. Dan ini merupakan
asset yang tak ternilai sebagai goodwill bagi sebuah perusahaan.
Apabila
moral merupakan sesuatu yang mendorong orang untuk melakukan kebaikan
etika bertindak sebagai rambu-rambu (sign) yang merupakan kesepakatan
secara rela dari semua anggota suatu kelompok. Dunia bisnis yang
bermoral akan mampu mengembangkan etika (patokan/rambu-rambu) yang
menjamin kegiatan bisnis yang seimbang, selaras, dan serasi.
Etika
sebagai rambu-rambu dalam suatu kelompok masyarakat akan dapat
membimbing dan mengingatkan anggotanya kepada suatu tindakan yang
terpuji (good conduct) yang harus selalu dipatuhi dan dilaksanakan.
Etika di dalam bisnis sudah tentu harus disepakati oleh orang-orang yang
berada dalam kelompok bisnis serta kelompok yang terkait lainnya.
Dunia
bisnis, yang tidak ada menyangkut hubungan antara pengusaha dengan
pengusaha, tetapi mempunyai kaitan secara nasional bahkan internasional.
Tentu dalam hal ini, untuk mewujudkan etika dalam berbisnis perlu
pembicaraan yang transparan antara semua pihak, baik pengusaha,
pemerintah, masyarakat maupun bangsa lain agar jangan hanya satu pihak
saja yang menjalankan etika sementara pihak lain berpijak kepada apa
yang mereka inginkan. Artinya kalau ada pihak terkait yang tidak
mengetahui dan menyetujui adanya etika moral dan etika, jelas apa yang
disepakati oleh kalangan bisnis tadi tidak akan pernah bisa diwujudkan.
Jadi, jelas untuk menghasilkan suatu etika didalam berbisnis yang
menjamin adanya kepedulian antara satu pihak dan pihak lain tidak perlu
pembicaraan yang bersifat global yang mengarah kepada suatu aturan yang
tidak merugikan siapapun dalam perekonomian.
Dalam menciptakan etika bisnis, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, antara lain ialah:
1. Pengendalian diri
Artinya,
pelaku-pelaku bisnis dan pihak yang terkait mampu mengendalikan diri
mereka masing-masing untuk tidak memperoleh apapun dari siapapun dan
dalam bentuk apapun. Disamping itu, pelaku bisnis sendiri tidak
mendapatkan keuntungan dengan jalan main curang dan menekan pihak lain
dan menggunakan keuntungan dengan jalan main curang dan menakan pihak
lain dan menggunakan keuntungan tersebut walaupun keuntungan itu
merupakan hak bagi pelaku bisnis, tetapi penggunaannya juga harus
memperhatikan kondisi masyarakat sekitarnya. Inilah etika bisnis yang
"etis".
2. Pengembangan tanggung jawab sosial (social responsibility)
Pelaku
bisnis disini dituntut untuk peduli dengan keadaan masyarakat, bukan
hanya dalam bentuk "uang" dengan jalan memberikan sumbangan, melainkan
lebih kompleks lagi. Artinya sebagai contoh kesempatan yang dimiliki
oleh pelaku bisnis untuk menjual pada tingkat harga yang tinggi sewaktu
terjadinya excess demand harus menjadi perhatian dan kepedulian bagi
pelaku bisnis dengan tidak memanfaatkan kesempatan ini untuk meraup
keuntungan yang berlipat ganda. Jadi, dalam keadaan excess demand pelaku
bisnis harus mampu mengembangkan dan memanifestasikan sikap tanggung
jawab terhadap masyarakat sekitarnya.
3. Mempertahankan jati diri dan tidak mudah untuk terombang-ambing oleh pesatnya perkembangan informasi dan teknologi
Bukan
berarti etika bisnis anti perkembangan informasi dan teknologi, tetapi
informasi dan teknologi itu harus dimanfaatkan untuk meningkatkan
kepedulian bagi golongan yang lemah dan tidak kehilangan budaya yang
dimiliki akibat adanya tranformasi informasi dan teknologi.
4. Menciptakan persaingan yang sehat
Persaingan
dalam dunia bisnis perlu untuk meningkatkan efisiensi dan kualitas,
tetapi persaingan tersebut tidak mematikan yang lemah, dan sebaliknya,
harus terdapat jalinan yang erat antara pelaku bisnis besar dan golongan
menengah kebawah, sehingga dengan perkembangannya perusahaan besar
mampu memberikan spread effect terhadap perkembangan
sekitarnya. Untuk itu dalam menciptakan persaingan perlu ada
kekuatan-kekuatan yang seimbang dalam dunia bisnis tersebut.
5. Menerapkan konsep “pembangunan berkelanjutan"
Dunia
bisnis seharusnya tidak memikirkan keuntungan hanya pada saat sekarang,
tetapi perlu memikirkan bagaimana dengan keadaan dimasa mendatang.
Berdasarkan ini jelas pelaku bisnis dituntut tidak meng-"ekspoitasi"
lingkungan dan keadaan saat sekarang semaksimal mungkin tanpa
mempertimbangkan lingkungan dan keadaan dimasa datang walaupun saat
sekarang merupakan kesempatan untuk memperoleh keuntungan besar.
6. Menghindari sifat 5K (Katabelece, Kongkalikong, Koneksi, Kolusi dan Komisi)
Jika
pelaku bisnis sudah mampu menghindari sikap seperti ini, kita yakin
tidak akan terjadi lagi apa yang dinamakan dengan korupsi, manipulasi
dan segala bentuk permainan curang dalam dunia bisnis ataupun berbagai
kasus yang mencemarkan nama bangsa dan negara.
7. Mampu menyatakan yang benar itu benar
Artinya,
kalau pelaku bisnis itu memang tidak wajar untuk menerima kredit
(sebagai contoh) karena persyaratan tidak bisa dipenuhi, jangan
menggunakan "katabelece" dari "koneksi" serta melakukan "kongkalikong"
dengan data yang salah. Juga jangan memaksa diri untuk mengadakan
“kolusi" serta memberikan "komisi" kepada pihak yang terkait.
8. Menumbuhkan sikap saling percaya antara golongan pengusaha kuat dan golongan pengusaha kebawah
Untuk
menciptakan kondisi bisnis yang "kondusif" harus ada saling percaya
(trust) antara golongan pengusaha kuat dengan golongan pengusaha lemah
agar pengusaha lemah mampu berkembang bersama dengan pengusaha lainnya
yang sudah besar dan mapan. Yang selama ini kepercayaan itu hanya ada
antara pihak golongan kuat, saat sekarang sudah waktunya memberikan
kesempatan kepada pihak menengah untuk berkembang dan berkiprah dalam
dunia bisnis.
9. Konsekuen dan konsisten dengan aturan main yang telah disepakati bersama
Semua
konsep etika bisnis yang telah ditentukan tidak akan dapat terlaksana
apabila setiap orang tidak mau konsekuen dan konsisten dengan etika
tersebut. Mengapa? Seandainya semua ketika bisnis telah disepakati,
sementara ada "oknum", baik pengusaha sendiri maupun pihak yang lain
mencoba untuk melakukan "kecurangan" demi kepentingan pribadi, jelas
semua konsep etika bisnis itu akan "gugur" satu semi satu.
10. Menumbuhkembangkan kesadaran dan rasa memiliki terhadap apa yang telah disepakati
Jika etika ini telah memiliki oleh semua pihak, jelas semua memberikan suatu ketentraman dan kenyamanan dalam berbisnis.
11. Perlu adanya sebagian etika bisnis yang dituangkan dalam suatu hukum positif yang berupa peraturan perundang-undangan
Hal ini untuk menjamin kepastian hukum dari etika bisnis tersebut, seperti "proteksi" terhadap pengusaha lemah.
Kebutuhan
tenaga dunia bisnis yang bermoral dan beretika saat sekarang ini sudah
dirasakan dan sangat diharapkan semua pihak apalagi dengan semakin
pesatnya perkembangan globalisasi dimuka bumi ini.
2. Tanggung Jawab Sosial Bisnis
Tanggung jawab Sosial Perusahaan atau Corporate Social Responsibility adalah suatu konsep bahwa organisasi, khususnya perusahaan adalah memiliki suatu tanggung jawab terhadap konsumen, karyawan, pemegang saham, komunitas dan lingkungan dalam segala aspek operasional perusahaan.
CSR berhubungan erat dengan "pembangunan berkelanjutan",
di mana ada argumentasi bahwa suatu perusahaan dalam melaksanakan
aktivitasnya harus mendasarkan keputusannya tidak semata berdasarkan
faktor keuangan, misalnya keuntungan atau deviden melainkan juga harus berdasarkan konsekuensi sosial dan lingkungan untuk saat ini maupun untuk jangka panjang.
Banyak
pendukung CSR yang memisahkan CSR dari sumbangan sosial dan "perbuatan
baik" (atau kedermawanan seperti misalnya yang dilakukan oleh Habitat for Humanity atau Ronald McDonald House),
namun sesungguhnya sumbangan sosial merupakan bagian kecil saja dari
CSR. Perusahaan di masa lampau seringkali mengeluarkan uang untuk
proyek-proyek komunitas, pemberian bea siswa dan pendirian yayasan sosial. Mereka juga seringkali menganjurkan dan mendorong para pekerjanya untuk sukarelawan (volunteer)
dalam mengambil bagian pada proyek komunitas sehingga menciptakan suatu
itikad baik dimata komunitas tersebut yang secara langsung akan
meningkatkan reputasi perusahaan serta memperkuat merek
perusahaan. Dengan diterimanya konsep CSR, terutama triple bottom line,
perusahaan mendapatkan kerangka baru dalam menempatkan berbagai
kegiatan sosial.
Kepedulian
kepada masyarakat sekitar/relasi komunitas dapat diartikan sangat luas,
namun secara singkat dapat dimengerti sebagai peningkatan partisipasi
dan posisi organisasi di dalam sebuah komunitas melalui berbagai upaya
kemaslahatan bersama bagi organisasi dan komunitas. CSR adalah bukan
hanya sekedar kegiatan amal, di mana CSR mengharuskan suatu perusahaan
dalam pengambilan keputusannya agar dengan sungguh-sungguh
memperhitungkan akibat terhadap seluruh pemangku kepentingan(stakeholder)
perusahaan, termasuk lingkungan hidup. Hal ini mengharuskan perusahaan
untuk membuat keseimbangan antara kepentingan beragam pemangku
kepentingan eksternal dengan kepentingan pemegang saham, yang merupakan
salah satu pemangku kepentingan internal
Perubahan
pada tingkat kesadaran masyarakat memunculkan kesadararan baru tentang
pentingnya melaksanakan apa yang kita kenal sebagai Corporate Social
Responsibility (CSR). Pemahaman itu memberikan pedoman bahwa korporasi
bukan lagi sebagai entitas yang hanya mementingkan dirinya sendiri saja
sehingga ter-alienasi atau mengasingkan diri dari lingkungan masyarakat
di tempat mereka bekerja, melainkan sebuah entitas usaha yang wajib
melakukan adaptasi kultural dengan lingkungan sosialnya.
CSR
adalah basis teori tentang perlunya sebuah perusahaan membangun
hubungan harmonis dengan masyarakat tempatan. Secara teoretik, CSR dapat
didefinisikan sebagai tanggung jawab moral suatu perusahaan terhadap
para strategic-stakeholdersnya, terutama komunitas atau masyarakat
disekitar wilayah kerja dan operasinya. CSR memandang perusahaan sebagai
agen moral. Dengan atau tanpa aturan hukum, sebuah perusahaan harus
menjunjung tinggi moralitas. Parameter keberhasilan suatu perusahaan
dalam sudut pandang CSR adalah pengedepankan prinsip moral dan etis,
yakni menggapai suatu hasil terbaik, tanpa merugikan kelompok masyarakat
lainnya. Salah satu prinsip moral yang sering digunakan adalah
golden-rules, yang mengajarkan agar seseorang atau suatu pihak
memperlakukan orang lain sama seperti apa yang mereka ingin
diperlakukan. Dengan begitu, perusahaan yang bekerja dengan
mengedepankan prinsip moral dan etis akan memberikan manfaat terbesar
bagi masyarakat.
Menilik
sejarahnya, gerakan CSR modern yang berkembang pesat selama dua puluh
tahun terakhir ini lahir akibat desakan organisasi-organisasi masyarakat
sipil dan jaringannya di tingkat global. Keprihatinan utama yang
disuarakan adalah perilaku korporasi, demi maksimalisasi laba, lazim
mempraktekkan cara-cara yang tidak fair dan tidak etis, dan
dalam banyak kasus bahkan dapat dikategorikan sebagai kejahatan
korporasi. Beberapa raksasa korporasi transnasional sempat merasakan
jatuhnya reputasi mereka akibat kampanye dalam skala global tersebut.2
Hingga dekade 1980-90 an, wacana CSR terus berkembang. Munculnya KTT Bumi di Rio pada 1992 menegaskan konsep sustainibility development (pembangunan
berkelanjutan) sebagai hal yang mesti diperhatikan, tak hanya oleh
negara, tapi terlebih oleh kalangan korporasi yang kekuatan kapitalnya
makin menggurita. Tekanan KTT Rio, terasa bermakna sewaktu James Collins
dan Jerry Porras meluncurkan Built To Last; Succesful Habits of Visionary Companies di
tahun 1994. Lewat riset yang dilakukan, mereka menunjukkan bahwa
perusahaan-perusahaan yang terus hidup bukanlah perusahaan yang hanya
mencetak keuntungan semata.
Sebagaimana
hasil Konferensi Tingkat Tinggi Bumi (Earth Summit) di Rio de Janeiro
Brazilia 1992, menyepakati perubahan paradigma pembangunan, dari
pertumbuhan ekonomi (economic growth) menjadi pembangunan yang
berkelanjutan (sustainable development). Dalam perspektif perusahaan, di
mana keberlanjutan dimaksud merupakan suatu program sebagai dampak dari
usaha-usaha yang telah dirintis, berdasarkan konsep kemitraan dan
rekanan dari masing-masing stakeholder. Ada lima elemen sehingga konsep
keberlanjutan menjadi penting, di antaranya adalah ; (1) ketersediaan
dana, (2) misi lingkungan, (3) tanggung jawab sosial, (4)
terimplementasi dalam kebijakan (masyarakat, korporat, dan pemerintah),
(5) mempunyai nilai keuntungan/manfaat.
Pertemuan Yohannesburg tahun 2002 yang dihadiri para pemimpin dunia memunculkan konsep social responsibility, yang mengiringi dua konsep sebelumnya yaitu economic dan environment sustainability. Ketiga konsep ini menjadi dasar bagi perusahaan dalam melaksanakan tanggung jawab sosialnya (Corporate Social Responsibility).
Pertemuan penting UN Global Compact di Jenewa, Swiss, Kamis, 7 Juli
2007 yang dibuka Sekjen PBB mendapat perhatian media dari berbagai
penjuru dunia. Pertemuan itu bertujuan meminta perusahaan untuk
menunjukkan tanggung jawab dan perilaku bisnis yang sehat yang dikenal
dengan corporate social responsibility.
Sesungguhnya
substansi keberadaan CSR adalah dalam rangka memperkuat keberlanjutan
perusahaan itu sendiri dengan jalan membangun kerjasama antar
stakeholder yang difasilitasi perusahaan tersebut dengan menyusun
program-program pengembangan masyarakat sekitarnya. Atau dalam
pengertian kemampuan perusahaan untuk dapat beradaptasi dengan
lingkungannya, komunitas dan stakeholder yang terkait dengannya, baik
lokal, nasional, maupun global. Karenanya pengembangan CSR ke depan
seyogianya mengacu pada konsep pembangunan yang berkelanjutan.
Prinsip
keberlanjutan mengedepankan pertumbuhan, khususnya bagi masyarakat
miskin dalam mengelola lingkungannya dan kemampuan institusinya dalam
mengelola pembangunan, serta strateginya adalah kemampuan untuk
mengintegrasikan dimensi ekonomi, ekologi, dan sosial yang menghargai
kemajemukan ekologi dan sosial budaya. Kemudian dalam proses
pengembangannya tiga stakeholder inti diharapkan mendukung penuh, di
antaranya adalah; perusahaan, pemerintah dan masyarakat.
Dalam
implementasi program-program CSR, diharapkan ketiga elemen di atas
saling berinteraksi dan mendukung, karenanya dibutuhkan partisipasi
aktif masing-masing stakeholder agar dapat bersinergi, untuk mewujudkan
dialog secara komprehensif. Karena dengan partisipasi aktif para
stakeholder diharapkan pengambilan keputusan, menjalankan keputusan, dan
pertanggungjawaban dari implementasi CSR akan di emban secara bersama.
CSR sebagai sebuah gagasan, perusahaan tidak lagi dihadapkan pada tanggung jawab yang berpijak pada single bottom line,
yaitu nilai perusahaan (corporate value) yang direfleksikan dalam
kondisi keuangannya (financial) saja. Tapi tanggung jawab perusahaan
harus berpijak pada triple bottom lines. Di sini bottom lines
lainnya selain finansial juga adalah sosial dan lingkungan. Karena
kondisi keuangan saja tidak cukup menjamin nilai perusahaan tumbuh
secara berkelanjutan (sustainable). Keberlanjutan perusahaan hanya akan
terjamin apabila, perusahaan memperhatikan dimensi sosial dan lingkungan
hidup. Sudah menjadi fakta bagaimana resistensi masyarakat sekitar, di
berbagai tempat dan waktu muncul ke permukaan terhadap perusahaan yang
dianggap tidak memperhatikan aspek-aspek sosial, ekonomi dan lingkungan
hidupnya.
Pada
bulan September 2004, ISO (International Organization for
Standardization) sebagai induk organisasi standarisasi internasional,
berinisiatif mengundang berbagai pihak untuk membentuk tim (working
group) yang membidani lahirnya panduan dan standarisasi untuk tanggung
jawab sosial yang diberi nama ISO 26000: Guidance Standard on Social Responsibility.
Pengaturan
untuk kegiatan ISO dalam tanggungjawab sosial terletak pada pemahaman
umum bahwa SR adalah sangat penting untuk kelanjutan suatu organisasi.
Pemahaman tersebut tercermin pada dua sidang, yaitu Rio Earth Summit on the Environmentâ tahun 1992 dan World Summit on Sustainable Development (WSSD) tahun 2002 yang diselenggarakan di Afrika Selatan.
Pembentukan
ISO 26000 ini diawali ketika pada tahun 2001 badan ISO meminta ISO on
Consumer Policy atau COPOLCO merundingkan penyusunan standar Corporate
Social Responsibility. Selanjutnya badan ISO tersebut mengadopsi laporan
COPOLCO mengenai pembentukan “Strategic Advisory Group on Social
Responsibility pada tahun 2002. Pada bulan Juni 2004 diadakan pre-conference dan conference bagi
negara-negara berkembang, selanjutnya di tahun 2004 bulan Oktober, New
York Item Proposal atau NWIP diedarkan kepada seluruh negara anggota,
kemudian dilakukan voting pada bulan Januari 2005, dimana 29 negara
menyatakan setuju, sedangkan 4 negara tidak. Dalam hal ini terjadi
perkembangan dalam penyusunan tersebut, dari CSR atau Corporate Social
Responsibility menjadi SR atau Social Responsibility saja. Perubahan
ini, menurut komite bayangan dari Indonesia, disebabkan karena pedoman
ISO 26000 diperuntukan bukan hanya bagi korporasi tetapi bagi semua
bentuk organisasi, baik swasta maupun publik.
ISO
26000 menyediakan standar pedoman yang bersifat sukarela mengenai
tanggung tanggung jawab sosial suatu institusi yang mencakup semua
sektor badan publik ataupun badan privat baik di negara berkembang
maupun negara maju. Dengan Iso 26000 ini akan memberikan tambahan nilai
terhadap aktivitas tanggung jawab sosial yang berkembang saat ini dengan
cara: 1) mengembangkan suatu konsensus terhadap pengertian tanggung
jawab sosial dan isunya; 2) menyediakan pedoman tentang penterjemahan
prinsip-prinsip menjadi kegiatan-kegiatan yang efektif; dan 3) memilah
praktek-praktek terbaik yang sudah berkembang dan disebarluaskan untuk
kebaikan komunitas atau masyarakat internasional.
Apabila
hendak menganut pemahaman yang digunakan oleh para ahli yang menggodok
ISO 26000 Guidance Standard on Social responsibility yang secara
konsisten mengembangkan tanggung jawab sosial maka masalah CSR akan mencakup 7 isu pokok yaitu:
a) Pengembangan Masyarakat
b) Konsumen
c) Praktek Kegiatan Institusi yang Sehat
d) Lingkungan
e) Ketenagakerjaan
f) Hak asasi manusia
g) Organizational Governance (governance organisasi)
ISO
26000 menerjemahkan tanggung jawab sosial sebagai tanggung jawab suatu
organisasi atas dampak dari keputusan dan aktivitasnya terhadap
masyarakat dan lingkungan, melalui perilaku yang transparan dan etis,
yang:
l Konsisten dengan pembangunan berkelanjutan dan kesejahteraan masyarakat;
l Memperhatikan kepentingan dari para stakeholder;
l Sesuai hukum yang berlaku dan konsisten dengan norma-norma internasional;
l Terintegrasi di seluruh aktivitas organisasi, dalam pengertian ini meliputi baik kegiatan, produk maupun jasa.
Berdasarkan
konsep ISO 26000, penerapan sosial responsibility hendaknya
terintegrasi di seluruh aktivitas organisasi yang mencakup 7 isu pokok
diatas. Dengan demikian jika suatu perusahaan hanya memperhatikan isu
tertentu saja, misalnya seperti aspek lingkungan, maka perusahaan
tersebut sesungguhnya belum melaksanakan tanggung jawab sosial. Misalnya
suatu perusahaan sangat peduli terhadap isu lingkungan, namun
perusahaan tersebut masih mengiklankan penerimaan pegawai dengan
menyebutkan secara khusus kebutuhan pegawai sesuai dengan gender
tertentu, maka sesuai dengan konsep ISO 26000 perusahaan tersebut
sesungguhnya belum melaksanakan tanggung jawab sosialnya secara utuh.
Contoh lain, misalnya suatu perusahaan memberikan kepedulian terhadap
pemasok perusahaan yang tergolong industri kecil dengan mengeluarkan
kebijakan pembayaran transaksi yang lebih cepat kepada pemasok UKM.
Secara logika produk atau jasa tertentu yang dihasilkan UKM pada skala
ekonomi tertentu akan lebih efisien jika dilaksanakan oleh UKM. Namun
UKM biasanya tidak memiliki arus kas yang kuat dan jaminan yang memadai
dalam melakukan pinjaman ke bank, sehingga jika perusahaan membantu
pemasok UKM tersebut, maka bisa dikatakan perusahaan tersebut telah
melaksanakan bagian dari tanggung jawab sosialnya.
Prinsip-prinsip
dasar tanggung jawab sosial yang menjadi dasar bagi pelaksanaan yang
menjiwai atau menjadi informasi dalam pembuatan keputusan dan kegiatan
tanggung jawab sosial menurut ISO 26000 meliputi:
· Kepatuhan kepada hukum
· Menghormati instrumen/badan-badan internasional
· Menghormati stakeholders dan kepentingannya
· Akuntabilitas
· Transparansi
· Perilaku yang beretika
· Melakukan tindakan pencegahan
· Menghormati dasar-dasar hak asasi manusia
Adanya
ketidakseragaman dalam penerapan CSR diberbagai negara menimbulkan
adanya kecenderungan yang berbeda dalam proses pelaksanaan CSR itu
sendiri di masyarakat. Oleh karena itu diperlukan suatu pedoman umum
dalam penerapan CSR di manca negara. Dengan disusunnya ISO 26000 sebagai
panduan (guideline) atau dijadikan rujukan utama dalam
pembuatan pedoman SR yang berlaku umum, sekaligus menjawab tantangan
kebutuhan masyarakat global termasuk Indonesia.
3. Konsumerisme
Konsumerisme
adalah gerakan protes dari para konsumen atau masyarakat, karena
perlakuan para pengusaha/wirausaha yang kurang baik dalam melayani
konsumen. Artinya bahwa konsumerisme ialah suatu tindakan dari individu
atau organisasi konsumen, lembaga pemerintah dan perusahaan sebagai
jawaban ketidakpuasan yang diterima dalam hubungan dengan jual beli
Hak – hak konsumen :
- Hak untuk memilih, jangan hanya ditawarkan komoditi satu jenis saja, tanpa ada pilihan
-
Konsumen berhak memperoleh informasi dari produsen, terhadap barang
yang akan dibeli, baik mengenai bahan, cara pemakaian, daya tahan, dsb.
- Jika ada keluhan konsumen, harus didengar. Jika ada tuntutan konsumen harus segera diperhatikan oleh produsen
-
Apabila konsumen menggunakan produk, harus dijaga keselamatan konsumen,
jangan sampai barang yang telah dibeli membahayakan konsumen terutama
dalam hal mainan anak – anak , atau obat.
Konsumerisme adalah paham atau ideologi yang menjadikan seseorang atau kelompok melakukan atau menjalankan proses konsumsi atau pemakaian barang-barang hasil produksi secara berlebihan atau tidak sepantasnya secara sadar dan berkelanjutan. Hal tersebut menjadikan manusia
menjadi pecandu dari suatu produk, sehingga ketergantungan tersebut
tidak dapat atau susah untuk dihilangkan. Sifat konsumtif yang
ditimbulkan akan menjadikan penyakit jiwa yang tanpa sadar menjangkit manusia dalam kehidupannya.
Jika
ungkapan Descartes “Aku berpikir, maka aku ada!” menjadi kebanggan dan
wujud peneguhan eksistensi manusia berdasarkan rasionalitas. Saat ini,
yang dominan adalah, “Aku berbelanja, maka aku ada!” Sebuah peneguhan
eksistensial manusia yang kadang tanpa dasar nalar. Kapitalisme pasar
membentuk manusia menjadi makhluk ekonomi sebagai satu-satunya dimensi
kehidupannya. Tentu saja, kemudian, hubungan sosial antar sesama manusia
sarat dengan simbol dan logika ekonomi.
Ketika
produksi kapitalisme mencapai puncak kelimpahan barang, sehingga
kebutuhan tercukupi, perusahaan berusaha bukan hanya mencipta barang,
namun sekaligus menciptakan kebutuhan. Ini merupakan upaya kapitalisme
pasar untuk terus menguasai kehidupan. Melalui berbagai instrumen dan
cara-cara persuasif, kapitalisme memaksa masyarakat mengkonsumsi tanpa
henti. Muncul kemudian kebutuhan semu, bukan karena butuh (need), namun
lebih pada ingin (want).
Produksi
tentu tak lepas dari konsumsi, pasangannya. Sebab keduanya saling
membutuhkan. Pada awal perkembangan masyarakat, produksi adalah upaya
usaha memenuhi kebutuhan sendiri. Namun, karena barang yang dihasilkan
berlebih maka ditukarkan barang lain, untuk tujuan yang berbeda.
Pertukaran barang ini kemudian memunculkan pasar, dan barang tersebut
berubah nilainya menjadi komoditas. Karl Marx melihat hal tersebut
sebagai perubahan nilai guna (use value) menjadi nilai tukar (exchange
value).
Dari
gambaran di atas kita melihat bahwa, mengkonsumsi sebenarnya bukan
hanya persoalan pada zaman kini, ketika mall dan pusat perbelanjaan
menjamur. Konsumsi merupakan perilaku primitif manusia. Bahkan, menurut
Plato, terbentuknya masyarakat merupakan akibat manusia tak mampu
mencukupi kebutuhannya sendiri. Yang nampak berbeda adalah intensifikasi
dan perluasan jaringan pemasaran yang lebih kompleks. Munculnya pusat
perbelanjaan dalam bentuk yang lebih “baru”, membuat konsumsi menjadi
sebentuk candu.
Tentu
saja perubahan pola perilaku konsumsi tidak terjadi begitu saja.
Perubahan pola dan perilaku konsumsi terjadi seiring perkembangan
infrastruktur masyarakat. Berbagai penemuan di bidang teknologi dan
meletusnya Revolusi Industri, mengkonsumsi menjadi niscaya setelah
produksi. Produksi barang secara massal meniscayakan proses produksi
mengalami percepatan. Begitu pula usaha untuk menghabiskan dan
menggunakan barang. Zaman ini memunculkan masyarakat baru yakni
masyarakat konsumen. Masyarakat inilah yang menjadi pengguna barang yang
dihasilkan oleh produksi massal tersebut.
Perubahan
sosial serta produksi massa industrial yang mempengaruhi pola perilaku
mengkonsumsi mendorong beberapa tokoh untuk mengkajinya. Oleh Haryanto
Soedjatmiko, dalam Saya Berbelanja, maka Saya Ada: Ketika Konsumsi dan
Desain Menjadi Gaya Hidup Konsumeris (Jalasutra: 2008), membagi perilaku
konsumsi ke dalam tiga periode dengan masing-masing kondisi sosial di
sekitarnya. Tiga periode tersebut yakni; periode klasik, kemunculan
sosiologi konsumsi, dan periode posmodernis.
Teori
konsumsi klasik digawangi oleh Karl Marx, Max Weber, dan George Simmel.
Pada dasarnya Marx adalah seorang yang lantang mengecam kapitalisme
dengan berbagai implikasi eksploitasinya. Sehingga, tak mengherankan
bila Marx mengatakan bahwa hasil produksi tidak secara langsung terkait
dengan kebutuhan masyarakat. Barang produksi adalah komoditas yang
mendahulukan nilai tukar daripada nilai guna. Dalam kondisi demikian,
masyarakat merupakan obyek yang didorong produsen untuk mengkonsumsi.
Masyarakat berada pada subordinat produksi, di mana produsen mampu
menciptakan kebutuhan masyarakat.
Pada
saat kapitalisme mulai meletakkan dasar-dasarnya dengan kuat.
Berikutnya Weber muncul dengan ide tentang Etika Protestan dan Semangat
Kapitalisme. Kritik Weber bahwa, etika Protestan bukan hanya
menghabiskan barang konsumsi sebagaimana yang dilakukan masyarakatnya
saat itu. Namun, pada investasi dan kerja keras. Weber tampak ingin
semakin memperjelas dan memperkokoh kapitalisme dengan bentuk investasi
kembali keuntungan produksi. Meskipun masyarakat kental dengan semangat
Kalvinisme ini, namun perilaku konsumsi tidak berhenti. Masyarakat mulai
sadar akan kesenangan berkat kemajuan industri.
Tokoh
berikutnya adalah George Simmel, yang menekankan interaksi pertukaran,
terutama dalam perekonomian. Munculnya uang sebagai alat tukar dan
munculnya perkotaan memunculkan model baru dalam mengkonsumsi.
Pertumbuhan kelas sosial urban dan model konsumsi baru tersebut tidak
bisa dipisahkan dari modifikasi barang konsumsi. Pertumbuhan imajinasi
mengenai barang konsumsi muncul dari penilaian terhadap barang konsumsi.
Puncak imajinasi itu bergantung dan berperan pada munculnya masyarakat
urban yang berorientasi pada pemasaran mode (fashion) (Chaney, 2006:
55). Simmel menyimpulkan bahwa mengkonsumsi membentuk konstruksi
masyarakat dan menimbulkan budaya baru masyarakat. Di sini terjadi
pergeseran dari masyarakat konsumen (consumer society) menjadi budaya
konsumen (consumer culture).
Kemudian
muncul seorang sosiolog dari Prancis, Pierre Bourdieu, yang yang
menurut buku ini mempelopori kemunculan periode sosiologi konsumsi.
Bourdieu menghubungkan konsumsi dengan simbol-simbol sosial dalam
masyarakat. Dalam pandangannya produk konsumsi, merupakan simbol status
dan kelas sosial seseorang. Musik klasik misalnya, hanya dinikmati
orang-orang tertentu (biasanya dari kelas atas). Konsumsi dibentuk oleh
ide, simbol, selera, yang kemudian secara tidak langsung maupun tidak
menciptakan pembedaan dalam masyarakat. Dalam konsumsi, selera,
preferensi, gaya hidup, dan standar nilai ditentukan oleh kelas yang
lebih superior. Kelas atas bukan hanya unggul secara ekonomi politik,
namun juga budaya dengan menentukan dan melakukan hegemoni dalam
pola-pola konsumsi.
Pada
perkembangan kapitalisme akhir, dalam teori-teori sosial muncul
posmodernisme. Posmodernitas menurut Baudrillard adalah dunia yang penuh
dengan simbol dan citra. Termasuk dalam konsumsi. Ketika orang
mengkonsumsi, maka yang dikonsumsi sebenarnya bukan nilai barang, namun
citra atas barang tersebut. Konsumsi dirayakan seiring dengan munculnya
pusat perbelanjaan (super)modern, kapitalisme neoliberal, dan pasar
bebas. Kajian terhadap konsumsi masyarakat posmodern oleh buku ini
diwakili dua tokoh posmodernis, yakni Mike Featherstone dan Jean
Baudrillard.
Berbeda
dengan dua zaman sebelumnya atau juga dalam pandangan Featherstone, di
mana konsumsi menjadi sumber diferensiasi masyarakat. Justru
posmodernitas menurut Baudrillard megaburkan kelas dan status sosial.
Bahkan Baudrillard menyatakan era posmodern sebagai “matinya yang
social”, kematian masyarakat. Siapa pun yang mampu bisa merayakan
konsumsi tanpa memandang kelas dan status sosial. Konsumsi memberikan
identitas tertentu tanpa memandang batas-batas sosial.
Featherstone
menjelaskan budaya konsumen dengan membaginya ke dalam tiga tipe
Chaney, 2006: 67); pertama, konsumerisme merupakan tahap tertentu
kapitalis. Kedua, konsumerisme dan konsumsi merupakan persoalan yang
lebih sosiologis mengenai relasi benda-benda dan cara melukiskan status.
Praktik konsumsi merupakan strategi untuk menciptakan dan membedaan
status sosial. Tipe kedua dari konsumsi ini dapat kita lihat dengan
munculnya komunitas pengguna barang tertentu, misalnya klub motor merk
tertentu. Pandangan ini berbeda dengan pandangan Baudrillard di atas.
Ketiga, Featherstone melihat munculnya kreativitas konsumsi. Kreativitas
konsumsi ini terkait dengan estetikasi konsumsi yang pada perkembangan
selanjutnya menciptakan mode, estetisasi bentuk, dan gaya hidup.
Tokoh
selanjutnya, Jean Baudrillard, melihat konsumerisme sebagai logika
untuk memenuhi kepuasan hasrat. Melimpahnya barang konsumsi bukan lagi
karena kebutuhan masyarakat, namun lebih pada pemuasan nafsu mereka.
Dalam pandangan Baudrillard, kapitalisme akhir memanfaatkan mesin hasrat
tersebut untuk terus membelenggu masyarakat dalam jerat konsumerisme.
Praktik-praktik
konsumsi selanjutnya menjadi gaya hidup masyarakat. Konsumsi menjadi
cara pandang (baru) masyarakat. Seiring dengan terus beroperasinya
industri lintas negara dan tumbuhnya supermarket, hipermarket, dan mall.
Bahkan dengan strateginya yang cantik, barang konsumsi disesuaikan
dengan pengalaman dan pandangan filosofis masyarakat setempat
(fordisme). Munculnya strategi fordisme tersebut terus-menerus
menempatkan masyarakat dalam kubangan konsumerisme.
Kajian
tentang konsumerisme dan sosiologi konsumsi menjadi penting saat ini.
Sigfikansinya adalah, perubahan masyarakat saat ini cenderung menuju
pada budaya komsumeris seiring menjamurnya pusat perbelanjaan. Kajian
ini dimulai dari tokoh klasik, tokoh sosiologi konsumsi, dan teori
posmodern dengan konteks sosial masing-masing zaman mereka. Kajian
keilmuan sosiologi dalam masyarakat konsumsi jelas akan senantiasa
penting di masa yang akan datang.
C. KESIMPULAN
Dunia
bisnis, yang tidak ada menyangkut hubungan antara pengusaha dengan
pengusaha, tetapi mempunyai kaitan secara nasional bahkan internasional.
Tentu dalam hal ini, untuk mewujudkan etika dalam berbisnis perlu
pembicaraan yang transparan antara semua pihak, baik pengusaha,
pemerintah, masyarakat maupun bangsa lain agar jangan hanya satu pihak
saja yang menjalankan etika sementara pihak lain berpijak kepada apa
yang mereka inginkan. Artinya kalau ada pihak terkait yang tidak
mengetahui dan menyetujui adanya etika moral dan etika, jelas apa yang
disepakati oleh kalangan bisnis tadi tidak akan pernah bisa diwujudkan.
Jadi, jelas untuk menghasilkan suatu etika didalam berbisnis yang
menjamin adanya kepedulian antara satu pihak dan pihak lain tidak perlu
pembicaraan yang bersifat global yang mengarah kepada suatu aturan yang
tidak merugikan siapapun dalam perekonomian.
Banyak
pendukung CSR yang memisahkan CSR dari sumbangan sosial dan "perbuatan
baik" (atau kedermawanan seperti misalnya yang dilakukan oleh Habitat for Humanity atau Ronald McDonald House),
namun sesungguhnya sumbangan sosial merupakan bagian kecil saja dari
CSR. Perusahaan di masa lampau seringkali mengeluarkan uang untuk
proyek-proyek komunitas, pemberian bea siswa dan pendirian yayasan sosial. Mereka juga seringkali menganjurkan dan mendorong para pekerjanya untuk sukarelawan (volunteer)
dalam mengambil bagian pada proyek komunitas sehingga menciptakan suatu
itikad baik dimata komunitas tersebut yang secara langsung akan
meningkatkan reputasi perusahaan serta memperkuat merek
perusahaan. Dengan diterimanya konsep CSR, terutama triple bottom line,
perusahaan mendapatkan kerangka baru dalam menempatkan berbagai
kegiatan sosial.
Kepedulian
kepada masyarakat sekitar/relasi komunitas dapat diartikan sangat luas,
namun secara singkat dapat dimengerti sebagai peningkatan partisipasi
dan posisi organisasi di dalam sebuah komunitas melalui berbagai upaya
kemaslahatan bersama bagi organisasi dan komunitas. CSR adalah bukan
hanya sekedar kegiatan amal, di mana CSR mengharuskan suatu perusahaan
dalam pengambilan keputusannya agar dengan sungguh-sungguh
memperhitungkan akibat terhadap seluruh pemangku kepentingan(stakeholder)
perusahaan, termasuk lingkungan hidup. Hal ini mengharuskan perusahaan
untuk membuat keseimbangan antara kepentingan beragam pemangku
kepentingan eksternal dengan kepentingan pemegang saham, yang merupakan
salah satu pemangku kepentingan internal
Konsumerisme adalah paham atau ideologi yang menjadikan seseorang atau kelompok melakukan atau menjalankan proses konsumsi atau pemakaian barang-barang hasil produksi secara berlebihan atau tidak sepantasnya secara sadar dan berkelanjutan. Hal tersebut menjadikan manusia
menjadi pecandu dari suatu produk, sehingga ketergantungan tersebut
tidak dapat atau susah untuk dihilangkan. Sifat konsumtif yang
ditimbulkan akan menjadikan penyakit jiwa yang tanpa sadar menjangkit manusia dalam kehidupannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar