Kamis, 13 Oktober 2011

Artikel ( B. Indonesia 1 )

Nama : Syahru Ramadhan ( 12209023
Kls : 3ea07
Tgs : B. Indonesia 1

Artikel

Cara Menulis Kilat… Bagaimana Menulis Cepat?
Ya, tentu saja akan enak sekali jika anda dan saya bisa menulis secepat kilat. Masih ingat, dulu ada sebuah cerita lucu sekali Choki si pelukis cepat. Dalam hitungan detik dia bisa melukis sangat cepat, secepat kilat… lebih cepat dari bayangannya sendiri. Well… dengan keahliannya ini dia berhasil menyelamatkan banyak orang, menolong banyak orang, dan menjadikannya tokoh yang sangat menarik.
Masih ingat, dulu ada Lucky Luke, “menembak lebih cepat dari bayangannya sendiri” jadi kecepatan itu menyenangkan, fun, lucu, dan menyelesaikan banyak.
Nah karena menulis adalah salah satu kebiasaan yang perlu anda pupuk di Internet, bukankah akan sangat mengasyikkan jika anda bisa menulis kilat? menulis lebih cepat dari bayangan anda sendiri.
Saya bisa menulis 10 artikel dengan baik di blog ini, bahkan saya bisa melakukan-nya secara konsisten dalam seminggu atau jika perlu terus menerus. Bagaimana saya melakukannya?
Perbanyak masukan, mungkin lewat membaca buku, mendengarkan audio, lewat membaca di Internet, lewat pengalaman anda, atau apapun. Pikiran kita selalu merekam segala peristiwa terus menerus, dia selalu belajar. Jadi tinggal anda mau tidak menuangkannya membagikannya kepada orang lain.
Mungkin anda mau tetapi anda tidak cukup percaya diri, itulah enaknya di Internet, ada blog, anda bisa latihan menulis disana.
Ya tentu saja awalnya tidak akan secepat bayangan anda, tetapi jika anda tidak memulai, bagaimana bisa cepat?
Teruslah berlatih, ingat Bruce Lee? Ia pernah mengatakan bahwa, Ia tidak takut dengan orang yang belajar 1000 tendangan setiap hari. Ia takut dengan orang yang berlatih 1 tendangan 1000 kali.
Karena jika anda berlatih satu tehnik 1000 kali, bisa dipastikan kecepatan dan kekuatan anda akan meningkat drastis.

Mau menulis banyak dan cepat? lakukan yang banyak. Belilah bukunya Joe Vitale: “Hypnotic Writing”, baca berulang-ulang, tulis ulang berkali-kali kalau perlu. Itu akan menjadikan tulisan anda memukau. Lalu perbanyak lakukan, anda akan menjadikan tulisan anda: berlari, menendang dan berteriak. :O Keren bukan?
Nah jika sudah begitu anda hanya akan bertambah baik dan bertambah baik semakin anda melakukannya. Dan anda akan dibayar mahal karena itu. Karena orang kebanyakan membeli informasi di internet. Mereka akan dengan senang hati membayar tulisan anda, keahlian anda. Informasi adalah satu produk yang sangat laku dan menguntungkan di Internet. Dan lewat tulisan anda bisa create produk-produk informasi atau mempromosikan apapun sebanyak mungkin.


Tetaplah menulis! :) , give me your opinion under.


















Diksi-Diksi Dalam Puisi
Hari ini, kata yang terpopuler di Kompasiana adalah tidak lain tidak bukan: DIKSI. Banyak polemik, pertanyaan, gonjang-ganjing belum lagi seabrek komentar yang berputar di, masih kata yang sama, DIKSI. Sebenarnya apa sih diksi itu?
Menurut wikipedia: Diksi, dalam arti aslinya dan pertama, merujuk pada pemilihan kata dan gaya ekspresi oleh penulis atau pembicara. Arti kedua, arti “diksi” yang lebih umum digambarkan dengan enunsiasi kata - seni berbicara jelas sehingga setiap kata dapat didengar dan dipahami hingga kompleksitas dan ekstrimitas terjauhnya. Arti kedua ini membicarakan pengucapan dan intonasi, daripada pemilihan kata dan gaya.
Menurut KBBI, DIKSI berarti pilihan kata yang tepat dan selaras (dalam penggunaannya) untuk mengungkapkan gagasan sehingga diperoleh efek tertentu (seperti yang diharapkan)
Diksi Dalam Puisi
Sebenarnya diksi tidak hanya dipakai dalam menulis puisi. Dalam menulis cerpen, novel, essai, artikel, sampai karya ilmiah sekalipun, diksi juga diperlukan. Tapi baiklah kita membicarakan diksi dalam puisi saja kali ini (sesuai dengan topik yang sedang menghangat di kompasiana saat ini).
Saya sendiri senang menulis puisi dan menyadari salah satu unsur penting dalam menulis puisi adalah pemilihan diksi. Karena puisi adalah bentuk karya tulis yang tidak memakai banyak kata-kata, cendurung tidak deskriptif dan naratif, maka pemilihan kata-kata yang tepat untuk menggambarkan maksud dan nuansa tulisan haruslah dicermati dengan seksama. Termasuk di dalamnya menghindari pengulangan kata yang sama terlampau sering, pemilihan sinonim yang mewakili, sampai ke penggunaan tanda baca dan susunan bahasa. Misalnya ketika kita ingin mengungkapkan rasa kesepian, kata mana yang akan kita pilih; sunyi, diam, nelangsa, sendiri, sedih, sepi, senyap atau hening? Meski berkonotasi sama, tiap kata yang terpilih akan memberi warna yang berbeda apabila disandingkan dengan kata-kata lainnya dalam keseluruhan puisi.
Bagaimana cara memilih diksi yang tepat? Dengan banyak membaca, baik itu puisi, artikel, novel, surat kabar sampai ke tulisan kritikan sekalipun. Sebab membaca akan memperbanyak kosa-kata. Dengan mengetahui banyak kosa -kata, penulis puisi akan mempunyai pilihan yang lebih beragam dan memberikan warna dan jiwa tersendiri bagi puisinya.
Sekali lagi, diksi adalah pilihan kata, yang merupakan satu kesatuan dari keutuhan puisi. Jadi bukan berarti memakai kata-kata yang artinya baru diketahui setelah memeriksa KBBI, lantas puisi tersebut baru dianggap keren dan mengandung nilai sastra. Penyair-penyair besar Indonesia banyak menggunakan diksi yang sederhana dan gampang dimengerti, tapi puisi yang dihasilkannya sungguh indah.

Kita ambil contoh puisi karya Sapardi Djoko Damono:

Perahu Kertas
Waktu masih kanak-kanak kau membuat perahu kertas dan kau layarkan di tepi kali; alirnya Sangat tenang, dan perahumu bergoyang menuju lautan.
“Ia akan singgah di bandar-bandar besar,” kata seorang lelaki tua. Kau sangat gembira, pulang dengan berbagai gambar warna-warni di kepala.
Sejak itu kau pun menunggu kalau-kalau ada kabar dari perahu yang tak pernah lepas dari rindu-mu itu.
Akhirnya kau dengar juga pesan si tua itu, Nuh, katanya,
“Telah kupergunakan perahumu itu dalam sebuah banjir besar dan kini terdampar di sebuah bukit.”
(Perahu Kertas - Kumpulan Sajak, 1982)
Untuk menghasilkan puisi yang bagus, selain diksi, kemahiran menggunakan imaji kata-kata, bahasa figuratif (majas) dan rima adalah unsur-unsur dalam penulisan puisi yang tidak boleh luput diperhatikan. Tapi apakah dengan menguasai semua teori-teori tersebut, maka maha karya puisi akan berhasil dihadirkan? Banyak penyair-penyair yang justru membebaskan diri dari semua ikatan teori, menjelajah imajinasi kata-kata seliar-liarnya, dan jadilah puisi yang luar biasa.

Seperti puisi karya Sutardji Calzoum Bachri berikut ini:
Sepisaupi

sepisau luka sepisau duri
sepikul dosa sepukau sepi
sepisau duka serisau diri
sepisau sepi sepisau nyanyi




sepisaupa sepisaupi
sepisapanya sepikau sepi
sepisaupa sepisaupoi
sepikul diri keranjang duri

sepisaupa sepisaupi
sepisaupa sepisaupi
sepisaupa sepisaupi
sampai pisauNya ke dalam nyanyi

(1973)
Lalu, bagaimana dengan penulis-penulis puisi di Kompasiana ini? Dari sekian banyak puisi atau tulisan yang ditag di kolom puisi di Kompasiana, memang tidak semuanya bagus. Beberapa bahkan terbaca sebagai curhat. Tapi dengan sering menulis puisi, proses pembelajaran akan terbentuk dengan sendirinya dan pada akhirnya akan menghasilkan tulisan yang berkarakter. Saya perhatikan justru sekarang ini semakin banyak Kompasioners yang puisinya semakin cemerlang, seperti cahaya matahari pagi yang hangat dan menjanjikan. Ah, bukankah memang tidak ada yang begitu mulai menulis langsung bisa menjadi penyair yang hebat? Saya yakin Joko Punirbo, WS Rendra dan Alfrizal Malna dulunya juga melewati proses pembelajaran sebelum bermetamorfosa menjadi seperti sekarang.
Sebagai contoh (lagi), saya postingkan dua puisi Kompasioners yang saya nilai bagus. Sengaja saya pilih kedua penulis ini untuk mewakili, mengingat mereka berdua sudah menghasilkan puisi berrmutu dalam usia yang relatif muda (status: masih mahasiswa).

Sajak Cinta Buat Nda - Pringadi Abdi
di palembang, nda. hanya di palembang,
burung-burung tidak lagi kepingin terbang, udara
dingin menusuk tulang, dan syalmu menanti
aku datang


rindu ini begitu akut, mengalahkan gagak-gagak
di tiang listrik yang khusyuk
menanti kematian

di palembang, nda, jembatan ampera masih tegak
membelah sungai musi yang keruh;
cinta ini selalu penuh, meski terkadang angkuh
tetapi sungguh
tak ada kata-kata dari kesunyian
yang lebih indah dari kenangan perjalananku
denganmu
Kau Gemakan Laguku Saat Jendela Terbuka - Andi Gunawan

Yessa Putra Noviansyah

Hari-hari merupa hitam putih sesekali terselip abu. Umpama tembakau dalam kemasan petang, kunikmati selingan kelabu yang menggelayuti mau sebelum datang merah.
Kau mengetuk pintu dan kubiarkan masuk lewat jendela. Pintu terlalu lapang saat terbuka -mengaburkan asap yang ingin kujaga baunya dalam kubusku.
Demi kelayakan predikat, kubagi sesesap jujur padamu yang masuk lewat jendela berkarat. Kepulannya merasuki celah yang rahasia, kenapa kau buka pintu?
Jadi teringat pendapat seorang teman yang mengatakan bahwa puisi adalah bentuk seni yang paling subjektif. Berbeda dengan lakon, tari atau lukisan, puisi tidak dapat dinilai secara visual. Berhubung ia lebih banyak bermain di ranah rasa dan emosi, tidak seperti cerpen atau novel yang dapat ditelusuri narasi, plot dan karakter tokoh-tokohnya, maka penilaian terhadap bagus tidaknya sebuah puisi cenderung menjadi ambigu. Menuruku, kedua puisi tulisan Pringadi Abdi dan Andi Gunawan adalah contoh puisi yang bagus. Pemilihan diksi yang menarik: Hari-hari merupa hitam putih sesekali terselip abu (Kau Gemakan Laguku Saat Jendela Terbuka); kenapa abu, bukannya kelabu? Kupikir abu, selain mewakili warna, juga merupa sebagai abu dari sisa pembakaran, yang ternyata tepat sekali disambung dengan kalimat berikutnya: Umpama tembakau dalam kemasan petang.
Atau rima yang manis sekali di puisi Sajak Cinta Buat Nda: di palembang, nda. di palembang.// burung-burung tidak lagi kepingin terbang, udara//dingin menusuk tulang, dan syalmu menanti. Kata-kata berakhiran ‘g’ dalam palembang, burung, terbang dan tulang, terbaca ritmis meski tidak selalu disandingkan menjadi kata terakhir di baris. Pengulangan kata di palembang, di palembang, adalah penekanan lokasi yang disambung dengan gambaran jembatan ampera di bait terakhir yang berhasil membawa kita ke dalam perjalanan cinta nda dengan si penyair.
Kalaupun ada yang tidak sependapat dengan apresiasiku dalam menilai kedua puisi di atas, silakan saja. Rasa memang tidak dapat dipaksa. Tapi kalau ada yang menilai semua puisi di Kompasiana adalah karya sampah dan tidak ada yang bagus, ini sama saja dengan orang buta yang memegang kaki seekor gajah lalu berasumsi bahwa dia telah menjelajahi dan mengerti keseluruhan fisik dari gajah.
Terakhir, saya percaya puisi yang ditulis dari hati yang jujur hasilnya akan jauh lebih bagus daripada puisi yang hanya berkutat di seputaran diksi dan teori kepenulisan saja. Puisi tersebut akan terlihat keren, tapi kosong. Jadi, wahai penulis puisi, gunakan diksimu segila-gilanya, seliar-liarnya, dan menulislah dari hati.

Tidak ada komentar: