Pengantar
Pertanyaan
“Pedulikah saya pada lingkungan hidup kita?” adalah sebuah pertanyaan reflektif
yang mengajak kita untuk sejenak merenungkan kehidupan di sekitar kita.
Lingkungan hidup adalah “konteks” di mana kita hidup dan bertempat tinggal.
Apabila lingkungan hidup tersebut terganggu dan mengalami kerusakan, maka
kehidupan dan tempat tinggal kita pun akan terusik.
Tulisan di bawah
ini disajikan untuk mengajak kita semua merenung dan merefleksikan sejenak
keadaan serta status lingkungan hidup kita. Semoga tulisan ini dapat menjadi
“cambuk” yang semakin menyadarkan kita atas kerusakan lingkungan hidup
yang sudah, sedang dan akan terjadi. Pertama-tama kita akan mencoba menjawab
pertanyaan paling dasar yaitu mengapa kita perlu peduli terhadap lingkungan
hidup? Apakah ada alasan-alasan tertentu yang mengharuskan kita melakukan hal
tersebut? Kita juga akan melihat sejauh mana cakupan masalah lingkungan hidup
dalam konteks kehidupan manusia dan interaksinya dengan lingkungan hidup di
sekitarnya. Bagaimana hal tersebut terkait dengan masalah etika dan moral.
Apakah ada kaitan antara sikap etis dan tindakan moral manusia dengan
masalah-masalah yang dialami oleh lingkungan hidup? Pada bagian akhir kita akan
melihat gumpalan refleski yang juga merupakan catatan akhir dan konfirmasi
bahwa kita semua memiliki tanggungjawab dan kewajiban untuk memelihara dan
merawat lingkungan hidup.
Mengapa kita harus peduli terhadap lingkungan hidup ?
Masalah kerusakan lingkungan hidup dan akibat-akibat
yang ditimbulkan bukanlah suatu hal yang asing lagi di telinga kita. Dengan
mudah dan sistematis kita dapat menunjuk dan mengetahui apa saja jenis
kerusakan lingkungan hidup itu dan apa saja akibat yang ditimbulkanya.
Misalnya; dengan cepat dan sistematis kita dapat mengerti bahwa eksploitasi
alam dan penebangan hutan yang terlalu berlebihan dapat menyebabkan
bencana banjir, tanah longsor dan kelangkaan air bersih; membuang limbah industri
ke sungai dapat menyebabkan kematian ikan dan merusak habitatnya; penggunaan
dinamit untuk menangkap ikan dapat merusak terumbu karang dan biota laut dan
masih banyak lagi daftar sebab akibat yang biasa terjadi dalam lingkungan hidup
kita. Yang menjadi masalah adalah, bahwa pengetahuan yang sama atas pengenalan
kerusakan lingkungan hidup dan akibat yang ditimbulkan tersebut tidak terjadi
dalam pemeliharaan dan perawatan lingkungan hidup. Pertanyaanya sekarang adalah
benarkah kita sudah tidak dapat berpikir secara logis dan sistematis lagi
sehingga tindakan kita untuk mengeksploitasi lingkungan hidup hanya berhenti
pada tahap pengeksploitasian semata tanpa diikuti proses selanjutnya yaitu
tanggungjawab untuk merawat dan memilihara?
Lemahnya kesadaran kita terhadap lingkungan hidup juga
terjadi karena adanya anggapan yang memandang bahwa pemanfaat alam bagi
manusia itu adalah hal yang “wajar”. Menebang pohon guna kebutuhan manusia
adalah hal yang sangat lumrah, misalnya. Membuang sampah sembarangan di mana
pun sepertinya adalah suatu hal yang juga wajar, belum ada aturan yang ketat
untuk itu. Dengan kata lain, proses kerusakan lingkungan hidup dapat
digambarkan seperti seorang pecandu rokok atau minuman keras. In common
sense, seorang pecandu pastilah tahu bahwa rokok atau minuman keras
dapat merusak tubuh dan kesehatan mereka. Namun, mereka toh tetap
menikmatinya. Mungkin, mereka baru benar-benar akan sadar terhadap dampak
negatif rokok atau minuman keras ketika telah mengalami sakit keras. Proses
yang sama kiranya juga terjadi atas sikap kita terhadap alam dan lingkungan
hidup. Kita tahu bahwa menebang pohon seenaknya atau membuang sampah
sembarangan adalah suatu hal yang jelas-jelas salah, tapi kita tokh tetap
melakukannya berulang-ulang, sebab kita diuntungkan, tidak menjadi repot dan
itu adalah hal yang sudah biasa dan mungkin kita menikmatinya. Barangkali kita baru akan benar-benar tersadar ketika
terjadi bencana besar menimpa hidup kita atau sesama kita. Pertanyaannya adalah
bukankah hal tersebut sama dengan para pecandu yang tidak segera berhenti
merokok atau peminum yang tidak berhenti mabuk jika belum menghadapi sakit
keras?.
Jika saja memang terjadi bahwa ada banyak orang
memiliki pengetahuan dan kesadaran yang begitu rendah dan lamban seperti yang
telah kita gambarkan di atas, betapa akan lebih cepat kerusakan lingkungan
hidup kita. Hal tersebut tentunya tidak boleh terjadi,
sebab kita semua tidak dapat hidup jika tidak ada lingkungan hidup yang
menopang dan menjamin kehidupan kita. Dalam kerangka yang lebih luas,
kita tentunya tahu bahwa hanya ada satu bumi—tempat dimana kita hidup dan
tinggal. Jika kerusakan lingkungan hidup berarti sama dengan kerusakan bumi,
maka sama artinya dengan ancaman terhadap hidup dan tempat tinggal kita. Dengan
kata lain, tugas untuk merawat dan memelihara lingkungan hidup, bumi serta
segala isinya adalah tanggung jawab kita semua. Lingkungan hidup bumi serta
segala isinya adalah “milik” kita.
Masalah Etika dan Moral
Masalah kerusakan lingkungan hidup mempunyai cakupan
yang cukup luas. Ia tidak hanya dibatasi di dalam bentuk kerusakan pada dirinya sendiri. Namun, ia juga terkait dengan masalah
lain. Masalah yang dimaksud adalah masalah etika dan moral.
Sebelum kita masuk pada uraian lebih lanjut, kiranya
kita perlu memperjelas lebih dahulu apa itu arti etika dan moral. Etika dapat
dipahami sebagai filsafat atau pemikiran kritis dan mendasar tentang
ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan moral. Etika memberikan orientasi pada
manusia agar manusia tidak hidup dengan cara ikut-ikutan saja terhadap pelbagai
fihak yang mau menetapkan bagaimana kita harus hidup, melainkan agar kita dapat
mengerti sendiri mengapa kita harus bersikap begini atau begitu. Etika mau
membantu, agar kita lebih mampu untuk mempertanggungjawabkan kehidupan kita.
Sedangkan moral adalah ajaran-ajaran, wejangan-wejangan, kotbah-kotbah,
patokan-patokan, kumpulan peraturan dan ketetapan entah lisan atau tertulis
tentang bagaimana manusia harus hidup dan bertindak agar ia menjadi
manusia yang baik. Kata moral selalu mengacu pada baik-buruknya manusia sebagai
manusia.
1. Masalah Etika
Masalah lingkungan hidup menjadi masalah etika karena
manusia seringkali “lupa” dan kehilangan orientasi dalam memperlakukan alam.
Karena “lupa” dan kehilangan orientasi itulah, manusia lantas memperlakukan
alam secara tidak bertanggungjawab. Dalam keadaan seperti itu, mereka juga
tidak lagi menjadi kritis. Oleh karena itulah pendekatan etis dalam menyikapi
masalah lingkungan hidup sungguh sangat diperlukan. Pendekatan tersebut
pertama-tama dimaksudkan untuk menentukan sikap, tindakan dan perspektif
etis serta manejemen perawatan lingkungan hidup dan seluruh anggota
ekosistem di dalamnya dengan tepat. Maka, sudah sewajarnyalah jika saat ini
dikembangkan etika lingkungan hidup dengan opsi “ramah” terhadap
lingkungan hidup.
Teori etika lingkungan hidup sendiri
secara singkat dapat diartikan sebagai sebuah usaha untuk membangun dasar-dasar
rasional bagi sebuah sistem prinsip-prinsip moral yang dapat dipakai
sebagai panduan bagi upaya manusia untuk memperlakukan ekosistem alam dan
lingkungan sekitarnya. Paling tidak pendekatan etika lingkungan hidup dapat
dikategorikan dalam dua tipe yaitu tipe pendekatan human-centered (berpusat pada manusia atau antroposentris) dan tipe pendekatan life-centered (berpusat pada kehidupan atau biosentris). Teori etika human-centered mendukung
kewajiban moral manusia untuk menghargai alam karena didasarkan atas kewajiban
untuk menghargai sesama sebagai manusia. Sedangkan teori etika life-centered
adalah teori etika yang berpendapat bahwa kewajiban manusia terhadap alam tidak
berasal dari kewajiban yang dimiliki terhadap manusia. Dengan kata lain, etika
lingkungan hidup bukanlah subdivisi dari etika human-centered.
Pada
umumnya, paling tidak semenjak jaman modern, orang lebih suka menggunakan
pendekatan etika human-centered dalam memperlakukan lingkungan hidup.
Melalui pendekatan etika ini, terjadilah ketidakseimbangan relasi antara
manusia dan lingkungan hidup. Dalam kegiatan praktis, alam kemudian dijadikan
“obyek” yang dapat dieksploitasi sedemikian rupa untuk menjamin pemenuhan
kebutuhan manusia. Sangat disayangkan bahwa pendekatan etika tersebut tidak
diimbangi dengan usaha-usaha yang memadai untuk mengembalikan fungsi lingkungan
hidup dan makhluk-makhluk lain yang ada di dalamnya. Dengan latar belakang
seperti itulah kerusakan lingkungan hidup terus-menerus terjadi hingga saat
ini. Pertanyaanya sekarang adalah apakah pendekatan etika human-centered
tersebut tetap masih relevan diterapkan untuk jaman ini?
Menghadapi realitas kerusakan lingkungan hidup yang terus terjadi, rasanya
pendekatan etika human-centered tidak lagi memadai untuk terus
dipraktekkan. Artinya, kita perlu menentukan pendekatan etis lain yang lebih
sesuai dan lebih “ramah” terhadap lingkungan hidup. Jenis pendekatan etika yang
kiranya memungkinkan adalah pendekatan etika life-centered yang tadi
sudah kita sebutkan. Pendekatan etika ini dianggap lebih memadai sebab dalam
praksisnya tidak menjadikan lingkungan hidup dan makhluk-makhluk yang terdapat
di dalamnya sebagai obyek yang begitu saja dapat dieksploitasi.
Sebaliknya, pendekatan etika ini justru sungguh menghargai mereka sebagai
“subyek” yang memiliki nilai pada dirinya. Mereka memiliki nilai tersendiri
sebagai anggota komunitas kehidupan di bumi. Nilai mereka tidak ditentukan dari
sejauh mana mereka memiliki kegunaan bagi manusia. Mereka memiliki nilai
kebaikan tersendiri seperti manusia juga memilikinya, oleh karena itu mereka
juga layak diperlakukan dengan respect seperti kita melakukanya terhadap
manusia.
2. Masalah Moral
Dalam kehidupan sehari-hari tindakan moral
adalah tindakan yang paling menentukan kualitas baik buruknya hidup seseorang.
Agar tindakan moral seseorang memenuhi kriteria moral yang baik, ia perlu
mendasarkan tindakanya pada prinsip-prinsip moral secara tepat. Prinsip-prinsip
moral yang dimaksud di sini adalah prinsip sikap baik, keadilan dan hormat
terhadap diri sendiri. Prinsip-prinsip moral tersebut disebutkan rasanya juga
perlu untuk dikembangkan lebih jauh. Artinya, prinsip moral semcam itu
diandaikan hanyalah berlaku bagi sesama manusia. Padahal, dalam kehidupan
sehari-hari seseorang tidak hanya berjumpa dan berinteraksi dengan sesamanya.
Bisa saja terjadi bahwa seseorang lebih sering berinteraksi dan berhubungan
dengan makhluk non-human atau lingkungan hidup di mana ia tinggal,
bekerja dan hidup. Maka rasanya kurang memadai jika dalam konteks tersebut
tidak terdapat prinsip-prinsip moral yang jelas seperti ketika seseorang menghadapi
sesamanya. Dengan kata lain, rasanya akan lebih baik jika terdapat
prinsip-prinsip moral yang menjadi penentu baik buruknya tindakan seseorang
dengan lingkungan hidup dan unsur-unsur kehidupan lain di dalamnya.
Untuk
menjawab pertanyaan di atas, ada baiknya jika kita kembali pada pemahaman
tentang teori etika life-centered. Kita kembali pada konsep etika
tersebut karena melalui pendekatan etika tersebut, kita dapat menemukan
konsep moral yang lebih memadai bagi manusia dalam menentukan sikap, tindakan
dan perspektifnya terhadap lingkungan hidup dan makhluk non-human. Life-centered
atau biosentris posisi mungkin kelihatan sebagai sebuah pendirian yang aneh.
Bagi beberapa orang, hal itu mungkin dianggap keliru, khususnya ketika semua
bintang dan tumbuhan dimasukkan sebagai golongan subyek moral. Bagaimana
mungkin kita sebagai manusia punya kewajiban dan tanggung jawab terhadap
nyamuk, cacing, semut dan lebah? Alasan apa yang dapat membenarkan pandangan
semacam itu? Apakah ada artinya membicarakan tentang bagaimana memperlakukan
tanaman atau jamur dengan benar atau salah? Pertanyaan-pertanyaan tersebut
rasanya perlu lebih dahulu dijawab untuk menentukan apakah mereka yang kita
bicarakan layak disebut sebagai agen moral.
Sebelum kita menjawab beberapa pertanyaan di atas,
rasanya terlebih dahulu perlu kita ketahui apa saja yang menjadi kriteria
“sesuatu” dapat disebut sebagai agen moral. Yang dapat disebut sebagai agen
moral adalah sebenarnya apa saja yang hidup, yang memiliki kapasitas kebaikan
atau kebajikan sehingga dapat bertindak secara moral, memiliki kewajiban dan
tanggungjawab, dan dapat dituntut untuk mempertanggungjawabkan tindakanya. Yang
lebih penting lagi adalah; agen moral dapat memberikan penilaian yang
benar dan salah; dapat diajak dalam proses delibrasi moral; dan dapat
menentukan keputusan berdasarkan semua alasan yang telah disebutkan. Dengan
melihat definisi tersebut, mingkin kita akan berpendapat bahwa semua itu adalah
kapasitas yang hanya dimiliki oleh manusia. Sekarang yang menjadi pertanyaan
adalah apakah pendapat semacam itu benar seluruhnya?
Dugaan bahwa seluruh kapasitas sebagai agen moral di
atas hanya dimiliki oleh manusia tidaklah seluruhnya benar. Dalam kenyataan ada
juga pengecualian-pengecualian yang dapat menjadi halangan bagi manusia untuk
menjadi agen-agen moral, contohnya adalah anak-anak yang masih berada di bawah
umur dan mereka yang mengalami cacat mental. Anak-anak dan mereka yang
mengalami cacat mental jelas-jelas adalah manusia. Akan tetapi, mereka tidak
dapat disebut sebagai agen moral sebab mereka memiliki keterbatasan baik yang
tidak permanen maupun yang permanen. Oleh karena itu, apabila mereka melakukan
tindakan yang melanggar nilai-nilai moral tidak dapat dikenakan sanksi.
Apabila kita kembali melihat kriteria agen
moral, dapat disimpulkan bahwa ada makhluk hidup lain bukan manusia yang
memiliki kapasitas sebagai agen moral. Bukan tidak mungkin bahwa makhluk non-human
memiliki kapasitas-kapasitas yang telah disebutkan di atas sebagai kriteria untuk
menjadi agen moral. Semut dan lebah pekerja yang bekerja dengan giat dengan
penuh rasa tanggungjawab untuk mengumpulkan makanan dan madu demi kebaikan
bersama komunitas mereka tidak dapat diabaikan sebagai agen moral jika kita
diukur dengan menggunakan kepemilikan kapasitas dapat bertbuat baik dan
bertanggungjawab. Begitu juga halnya dengan tanaman; pohon pisang yang rela
menghasilkan buah bukan demi untuk dirinya sendiri tetapi demi kebaikan entah
bagi manusia atau makhluk yang lain pun juga tidak dapat diingkari keberadaanya
sebagai agen moral. Dengan kata lain, pohon pisang juga memiliki kapasitas
kebaikan yang layak menjadikan dirinya sebagai agen moral.
2.1.Ekspresi moral
Dalam bidang kehidupan manusia, altruisme dan self-sucrifice
secara umum diartikan sebagai ekspresi tertinggi dari moralitas. Altruisme dan self-sucrifice
adalah tindakan yang jelas mencerminkan bagaimana suatu aksi tidak hanya
dimaksudkan demi kebaikan pribadi. Hal tersebut jelas menjadi representasi dari
kriteria diri sebagai agen moral. Jika kita menggunakan kacamata yang lebih
luas, ekspresi tertinggi moralitas bisa jadi bukan hanya sekedar monopoli
bidang kehidupan manusia. Artinya, dengan menggunakan kriteria yang sama yaitu
altruisme dan self-sucrifice sebagai ekspresi tertinggi dari moralitas,
makhluk non-human pun sebenarnya juga dapat melakukanya. Di atas telah
disebutkan bahwa semut, lebah, serta tumbuhan dapat merepresentasikan tindakan
altruis dan self-sucrifice. Oleh karena itu, rasanya tidaklah terlalu
berlebihan jika kita menyebut mereka sebagai makhluk yang juga memiliki
ekspresi moral.
Sampai sejauh ini, rasanya tidak ada alasan yang cukup
kuat untuk mengecualikan makhluk non-human sebagai makhluk yang tidak
pantas disebut sebagi agen moral. Jika memang benar demikian sebenarnya tidak
juga ada alasan yang berarti untuk melakukan eksploitasi terhadap mereka. Hanya
saja, perlu di sadari bahwa seringkali yang menjadi masalah bukan karena
manusia tidak tahu bagimana cara menghargai makhluk non-human dan
memandangnya sebagai makhluk yang tidak memiliki nilai intrinsik pada dirinya,
tetapi karena sebagain manusia terlalu sering menggunakan ukuran kemanusiaannya
untuk dikenakan terhadap makhluk hidup di luar dirinya. Standar yang mereka
berlakukan kadangkala tidak tepat sehingga merugikan peran dan keberadaan
makhluk non-human. Jika kita ingin mencari pendekatan yang lebih
baik, standarisasi tersebut tentunya perlu juga berorientasi terhadap kelebihan
dan kekurangan makhluk non-human itu sendiri. Dengan demikian, tidak perlulah
terjadi pembedaan yang berat sebelah antara manusia dan makhluk non-human
dalam penentuannya sebagai agen moral dalam komunitas kehidupan di bumi.
2.2 Pengembangan Prinsip Moral
Pendekatan etika life-centered sepertinya
adalah salah satu pendekatan etika yang paling cocok untuk lingkungan hidup
jaman ini. Pendekatan tersebut kiranya juga memberikan kondisi yang sangat
mendukung untuk makhluk non-human yang kerapkali diabaikan oleh manusia.
Dengan pendekatan yang sama terbuka juga kemungkinan untuk membangun
prinsip-prinsip dasar moral lingkungan hidup.
Dalam
pembicaraan kita sebelumnya disebutkan bahwa prinsip-prinsip moral berupa sikap
baik, keadilan dan hormat terhadap diri sendiri adalah prinsip-prinsip yang
rasanya kurang memadai untuk mengatur hubungan manusia dengan makhluk non-human.
Oleh
karena itu, mungkin ada baiknya jika prinsip-prinsip dasar tersebut
dikembangkan lebih luas. Artinya, prinsip sikap baik dan rasa tanggungjawab
tidak hanya dibatasi dan diberlakukan antar sesama manusia tetapi diperluas
hingga mencakup makluk non-human dan seluruh unsur yang terdapat di alam
semesta. Begitu juga dengan prinsip hormat terhadap diri sendiri. Kiranya
prinsip tersebut dapat diperluas jangkauanya menjadi prinsip yang bukan hanya
dimaksudkan untuk menghormati diri sendiri semata tetapi juga untuk
sesama, makhluk hidup non-human dan seluruh ansur yang terdapat di dalam
alam semesta seperti yang semestinya terjadi untuk prinsip sikap baik dan
tanggungjawab.
Pilihan untuk
memperluas cakupan prinsip-prinsip moral tidak dimaksudkan untuk menambah
kerepotan manusia dalam bersikap baik, bertanggug jawab dan berlaku hormat.
Dalam penjelasan sebelumnya telah dikatan bahwa makhluk selain manusia
pun dalam arti terterntu memiliki hak dan kewajiban yang sama sebagai anggota
komunitas kehidupan di bumi. Kalau pun terjadi bahwa makhluk selain manusia
terbukti tidak dapat dituntut untuk bertanggung jawab, adalah kewajiban kita
sebagai manusia untuk paling tidak memberikan hak semestinya bagi mereka.
Perluasan prinsip
moral yang sudah kita sebutkan di atas pada akhirnya dapat disebut sebagai
kajian bidang moral tersendiri. Bidang yang dimaksud di sini adalah bidang
moral lingkungan hidup. Moral lingkungan hidup seringkali dilukiskan sebagai
‘evolusi alamiah dunia moral’. Maksudnya, dunia moral lambat laun semakin
memperhatikan jagat rasa dan masalah-masalah ekologis. Sebelumnya dunia moral
hanya memperhatikan hubungan sosial antarpribadi dan kemudian hubungan atara
perseorangan dengan seluruh masyarakat. Namun ternyata dalam perjalanan waktu
pendekatan moral semacam itu tidak memadai dan perlu diperluas.
Penutup
Lingkungan hidup
dan segala unsur yang terdapat di dalamnya memiliki daya pikat yang luar biasa.
Ia menyajikan berbagai macam bentuk sumber kehidupan entah itu berupa udara,
makanan, kekayaan, tempat tinggal dan lain sebagainya. Maka, tidak mengherankan
jika manusia memiliki kehendak yang bagitu kuat untuk menguasai dan memiliki
sember-sumber kehidupan tersebut. Tidak jarang terjadi bahwa sumber-sumber
kehidupan yang terbatas itu diperebutkan dan kemudian diabaikan sebagai entitas
yang seharusnya dipelihara dan dirawat. Yang terjadi kemudian adalah kegiatan
eksploitasi dan pengrusakan lingkungan hidup untuk berbagai macam tujuan, entah
dengan alasan bagi penghidupan manusia itu sendiri atau hanya sekedar untuk
menumpuk kekayaan. Dalam keadaan seperti itu, lingkungan hidup dan segala
isinya semakin “dilupakan”. Manusia tidak lagi peduli bahwa lingkungan hidup
yang memiliki keterbatasan telah menderita, mengalami kerusakan dan merana
ditinggalkan.
Kerusakan
lingkungan hidup sebenarnya tidak akan terjadi jika saja setiap dari kita
memiliki rasa tanggungjawab dan sense of belonging yang tinggi.
Lingkungan hidup dan segala isinya adalah“ milik kita” yang harus dijaga dan
dipelihara. Untuk itu, kita hasus selalu dapat mempertanggungjawabkan setiap
perbuatan yang kita lakukan terhadap lingkungan hidup dan unsur-unsur lain yang
ada di dalamnya. Selain dapat diartikan sebagai “milik kita” lingkungan
hidup adalah sesuatu yang terbatas, ia membutuhkan perawatan dan pembaruan.
Itulah sebabnya kita sebagai manusia yang tidak dapat hidup tanpa adanya
lingkungan hidup memiliki kewajiban untuk melakukan perawatan dan pembaharuan
tersebut.
Ada banyak cara
yang dapat kita lakukan untuk merawat dan memperbarui lingkungan hidup di
sekitar kita. Salah satu caranya adalah melalui tindakan etis dan sikap
moral yang tepat. Kita perlu sungguh menyadari bahwa ada bentuk kehidupan lain
di luar kehidupan yang dimiliki oleh manusia. Hal itu berarti bahwa manusia
memiliki tanggung jawab yang lebih luas. Ia tidak hanya dituntut untuk
menghargai diri dan sesamanya, tetapi juga menghargai makluk hidup lain yang
juga menjadi bagian dalam komunitas kehidupan di bumi dengan tindakan etis dan
sikap moral yang sesuai. Jika hal itu sungguh-sungguh dilakukan maka akan
terwujudlah suatu keharmonisan. Keharmonisan itu sendiri merupakan sebuah
cita-cita yang ingin selalu di capai oleh cara hidup organik. Cara hidup
organik adalah sebuah cara hidup yang memandang bahwa antara manusia dengan
lingkungan hidup, segala makhluk dan benda yang ada di dalamnya memiliki
keterkaitan yang sangat dalam dan dapat hidup dalam keselarasan. Cara hidup
organik adalah sebuah cara hidup yang mengundang kita untuk merasa kerasan
dengan kehidupan di bumi ini.
Akhirnya,
semua bentuk kesadaran, pengetahuan, tidakan dan sikap terhadap
lingkungan hidup dan segala makhluk di dalamnya dikembalikan pada kita. Kita
sebenarnya juga diajak untuk memulai suatu cara hidup baru yaitu dengan
memberikan respect yang tinggi terhadap lingkungan hidup dan makluk
hidup lain yang ada di dalamnya sebagai sesama anggota komunitas kehidupan di
bumi yang kita tinggali selama kita hidup di atasnya bersama-sama makhluk hidup
yang lain.