Pengertian
Laporan
Laporan adalah segala
sesuatu yang dilaporkan dari seseorang atau suatu badan hukum
sehubungan dengan tugas
yang dibebankan kepadanya.
Fungsi
laporan
a. memberitahukan atau
menjelaskan dasar penyusunan, kebijakan, keputusan atau
pemecahan masalah.
b. memberitahukan atau
menjelaskan pertanggungjawaban tugas dan kegiatan.
c. merupakan bahan
untuk pendokumentasian.
d. merupakan sumber
informasi.
Tujuan
laporan
a. mengetahui kemajuan
dan perkembangan suatu masalah.
b. mengadakan
pengawasan dan perbaikan.
c. mengambil suatu
keputusan yang lebih efektif.
Syarat
pembuatan laporan
a. menggunakan bahasa
yang jelas, singkat, dan benar.
b. mengemukakan isi
laporan dengan lengkap dan sistematis.
Jenis-jenis
laporan
Menurut jenisnya
laporan dibedakan atas laporan formal dan laporan non formal.
Laporan formal adalah
laporan yang memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. ada halaman judul
b. ada surat atau
pernyataan penyesalan
c. ada daftar isi
d. ada ikhtisar atau
abstrak
e. ada pendahuluan,
isi, dan penutup
Laporan non formal
adalah laporan yang tidak memenuhi beberapa unsur formal di atas.
Laporan ini bersifat
pribadi yang disesuaikan dengan kepentingan penulisannya.
Bentuk
laporan
Berdasarkan bentuknya
laporan dibedakan atas:
a. Laporan berbentuk
formulir isian
b. Laporan berbentuk
surat
c. Laporan berbentuk
memorandum atau nota
d. Laporan jurnalistik
e. Laporan
ilmiah/penelitian (makalah, skripsi tesis, dan disectasi)
f. Laporan percobaan
g. Laporan hasil
pengamatan
h. Laporan perjalanan
Bahasa Indonesia
Dari Wikipedia bahasa Indonesia,
ensiklopedia bebas
Bahasa Indonesia adalah bahasa resmi Republik Indonesia dan bahasa persatuan bangsa Indonesia.
Bahasa Indonesia diresmikan penggunaannya setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, tepatnya
sehari sesudahnya, bersamaan dengan mulai berlakunya konstitusi. Di Timor Leste, bahasa
Indonesia berstatus sebagai bahasa
kerja.
Dari sudut pandang linguistik, bahasa
Indonesia adalah salah satu dari banyak ragam bahasa Melayu. Dasar yang dipakai adalah bahasa Melayu Riau (wilayah Kepulauan Riau
sekarang) dari abad ke-19. Dalam perkembangannya ia mengalami perubahan akibat
penggunaanya sebagai bahasa kerja di lingkungan administrasi kolonial dan
berbagai proses pembakuan sejak awal abad ke-20. Penamaan "Bahasa Indonesia"
diawali sejak dicanangkannya Sumpah Pemuda, 28
Oktober 1928, untuk menghindari kesan "imperialisme bahasa" apabila
nama bahasa Melayu tetap digunakan. Proses ini menyebabkan berbedanya Bahasa
Indonesia saat ini dari varian bahasa Melayu yang digunakan di Riau maupun Semenanjung Malaya. Hingga saat ini, Bahasa Indonesia
merupakan bahasa yang hidup, yang terus menghasilkan kata-kata baru, baik
melalui penciptaan maupun penyerapan dari bahasa daerah dan bahasa asing.
Meskipun dipahami dan dituturkan oleh lebih dari 90%
warga Indonesia, Bahasa Indonesia bukanlah bahasa ibu bagi
kebanyakan penuturnya. Sebagian besar warga Indonesia menggunakan salah satu
dari 748 bahasa yang ada di Indonesia sebagai bahasa ibu. Penutur
Bahasa Indonesia kerap kali menggunakan versi sehari-hari (kolokial) dan/atau
mencampuradukkan dengan dialek Melayu lainnya atau bahasa ibunya. Meskipun
demikian, Bahasa Indonesia digunakan sangat luas di perguruan-perguruan, di
media massa, sastra, perangkat lunak, surat-menyurat resmi, dan berbagai forum
publik lainnya, sehingga dapatlah dikatakan bahwa Bahasa Indonesia digunakan
oleh semua warga Indonesia.
Fonologi
dan tata bahasa Bahasa
Indonesia dianggap relatif mudah. Dasar-dasar
yang penting untuk komunikasi dasar dapat dipelajari hanya dalam kurun waktu
beberapa minggu.
Sejarah
Lihat pula Sejarah bahasa Melayu.
Masa lalu
sebagai bahasa Melayu
Bahasa Indonesia adalah varian bahasa Melayu, sebuah
bahasa Austronesia dari cabang
bahasa-bahasa Sunda-Sulawesi, yang digunakan
sebagai lingua
franca di Nusantara
kemungkinan sejak abad-abad awal penanggalan modern.
Aksara pertama dalam bahasa Melayu atau Jawi ditemukan di
pesisir tenggara Pulau Sumatera, mengindikasikan bahwa bahasa ini menyebar ke
berbagai tempat di Nusantara dari wilayah ini, berkat penggunaannya oleh
Kerajaan Sriwijaya yang
menguasai jalur perdagangan. Istilah Melayu atau sebutan bagi wilayahnya
sebagai Malaya sendiri berasal dari Kerajaan Malayu yang bertempat di Batang
Hari, Jambi, dimana diketahui bahasa Melayu yang digunakan di Jambi menggunakan
dialek "o" sedangkan dikemudian hari bahasa dan dialek Melayu
berkembang secara luas dan menjadi beragam.
Istilah Melayu atau Malayu berasal dari Kerajaan Malayu,
sebuah kerajaan Hindu-Budha pada abad ke-7 di hulu sungai Batanghari, Jambi di
pulau Sumatera, jadi secara geografis semula hanya mengacu kepada wilayah
kerajaan tersebut yang merupakan sebagian dari wilayah pulau Sumatera. Dalam
perkembangannya pemakaian istilah Melayu mencakup wilayah geografis yang lebih
luas dari wilayah Kerajaan Malayu tersebut, mencakup negeri-negeri di pulau
Sumatera sehingga pulau tersebut disebut juga Bumi Melayu seperti disebutkan
dalam Kakawin Nagarakretagama.
Ibukota Kerajaan Melayu semakin mundur ke pedalaman
karena serangan Sriwijaya dan masyarakatnya diaspora keluar Bumi Melayu, belakangan
masyarakat pendukungnya yang mundur ke pedalaman berasimilasi ke dalam
masyarakat Minangkabau menjadi klan Malayu (suku Melayu Minangkabau) yang
merupakan salah satu marga di Sumatera Barat. Sriwijaya berpengaruh luas hingga
ke Filipina membawa penyebaran Bahasa Melayu semakin meluas, tampak dalam
prasasti Keping Tembaga Laguna.
Bahasa Melayu kuno yang berkembang di Bumi Melayu
tersebut berlogat "o" seperti Melayu Jambi, Minangkabau, Kerinci,
Palembang dan Bengkulu. Semenanjung Malaka dalam Nagarakretagama disebut Hujung
Medini artinya Semenanjung Medini.
Dalam perkembangannya orang Melayu migrasi ke Semenanjung
Malaysia (= Hujung Medini) dan lebih banyak lagi pada masa perkembangan
kerajaan-kerajaan Islam yang pusat mandalanya adalah Kesultanan Malaka, istilah
Melayu bergeser kepada Semenanjung Malaka (= Semenanjung Malaysia) yang
akhirnya disebut Semenanjung Melayu atau Tanah Melayu. Tetapi nyatalah bahwa
istilah Melayu itui berasal dari Indonesia. Bahasa Melayu yang berkembang di
sekitar daerah Semenanjung Malaka berlogat "e".
Kesultanan Malaka dimusnahkan oleh Portugis tahun 1512
sehingga penduduknya diaspora sampai ke kawasan timur kepulauan Nusantara.
Bahasa Melayu Purba sendiri diduga berasal dari pulau Kalimantan, jadi diduga
pemakai bahasa Melayu ini bukan penduduk asli Sumatera tetapi dari pulau
Kalimantan. Suku Dayak yang diduga memiliki hubungan dengan suku Melayu kuno di
Sumatera misalnya Dayak Salako, Dayak Kanayatn (Kendayan), dan Dayak Iban yang
semuanya berlogat "a" seperti bahasa Melayu Baku.
Penduduk asli Sumatera sebelumnya kedatangan pemakai
bahasa Melayu tersebut adalah nenek moyang suku Nias dan suku Mentawai. Dalam
perkembangannya istilah Melayu kemudian mengalami perluasan makna, sehingga
muncul istilah Kepulauan Melayu untuk menamakan kepulauan Nusantara.
Secara sudut pandang historis juga dipakai sebagai nama
bangsa yang menjadi nenek moyang penduduk kepulauan Nusantara, yang dikenal
sebagai rumpun Indo-Melayu terdiri Proto Melayu (Melayu Tua/Melayu Polinesia)
dan Deutero Melayu (Melayu Muda). Setelah mengalami kurun masa yang panjang
sampai dengan kedatangan dan perkembangannya agama Islam, suku Melayu sebagai
etnik mengalami penyempitan makna menjadi sebuah etnoreligius (Muslim) yang
sebenarnya didalamnya juga telah mengalami amalgamasi dari beberapa unsur
etnis.
M. Muhar Omtatok, seorang Seniman, Budayawan dan
Sejarahwan menjelaskan sebagai berikut: "Melayu secara puak (etnis, suku),
bukan dilihat dari faktor genekologi seperti kebanyakan puak-puak lain. Di
Malaysia, tetap mengaku berpuak Melayu walau moyang mereka berpuak Jawa,
Mandailing, Bugis, Keling dan lainnya. Beberapa tempat di Sumatera Utara, ada
beberapa Komunitas keturunan Batak yang mengaku Orang Kampong - Puak Melayu
Kerajaan Sriwijaya dari abad ke-7 Masehi diketahui memakai
bahasa Melayu (sebagai bahasa Melayu Kuna) sebagai bahasa kenegaraan. Lima prasasti kuna yang
ditemukan di Sumatera bagian selatan peninggalan kerajaan itu menggunakan
bahasa Melayu yang bertaburan kata-kata pinjaman dari bahasa Sanskerta,
suatu bahasa Indo-Eropa dari cabang Indo-Iran. Jangkauan penggunaan
bahasa ini diketahui cukup luas, karena ditemukan pula dokumen-dokumen dari
abad berikutnya di Pulau
Jawa
dan Pulau Luzon.
Kata-kata seperti samudra, istri, raja, putra, kepala, kawin, dan kaca
masuk pada periode hingga abad ke-15 Masehi.
Pada abad ke-15 berkembang bentuk yang dianggap sebagai
bahasa Melayu Klasik (classical Malay atau medieval Malay).
Bentuk ini dipakai oleh Kesultanan Melaka, yang perkembangannya kelak disebut sebagai bahasa Melayu Tinggi. Penggunaannya
terbatas di kalangan keluarga kerajaan di sekitar Sumatera, Jawa, dan Semenanjung Malaya.[rujukan?] Laporan Portugis, misalnya
oleh Tome Pires,
menyebutkan adanya bahasa yang dipahami oleh semua pedagang di wilayah Sumatera
dan Jawa. Magellan dilaporkan
memiliki budak dari Nusantara yang menjadi juru bahasa di wilayah itu. Ciri
paling menonjol dalam ragam sejarah ini adalah mulai masuknya kata-kata
pinjaman dari bahasa
Arab dan bahasa
Parsi, sebagai akibat dari penyebaran agama Islam yang mulai masuk
sejak abad ke-12. Kata-kata bahasa Arab seperti masjid, kalbu, kitab, kursi,
selamat, dan kertas, serta kata-kata Parsi seperti anggur, cambuk, dewan,
saudagar, tamasya, dan tembakau masuk pada periode ini. Proses penyerapan dari
bahasa Arab terus berlangsung hingga sekarang.
Kedatangan pedagang Portugis, diikuti oleh Belanda,
Spanyol, dan Inggris meningkatkan informasi dan mengubah kebiasaan masyarakat
pengguna bahasa Melayu. Bahasa Portugis banyak memperkaya kata-kata untuk
kebiasaan Eropa dalam kehidupan sehari-hari, seperti gereja, sepatu, sabun,
meja, bola, bolu, dan jendela. Bahasa Belanda terutama banyak memberi pengayaan
di bidang administrasi, kegiatan resmi (misalnya dalam upacara dan
kemiliteran), dan teknologi hingga awal abad ke-20. Kata-kata seperti asbak, polisi,
kulkas, knalpot, dan stempel adalah pinjaman dari bahasa ini.
Bahasa yang dipakai pendatang dari Cina juga lambat laun
dipakai oleh penutur bahasa Melayu, akibat kontak di antara mereka yang mulai
intensif di bawah penjajahan Belanda. Sudah dapat diduga, kata-kata Tionghoa
yang masuk biasanya berkaitan dengan perniagaan dan keperluan sehari-hari,
seperti pisau, tauge, tahu, loteng, teko, tauke, dan cukong.
Jan Huyghen van Linschoten pada abad ke-17 dan Alfred Russel Wallace pada abad ke-19 menyatakan bahwa bahasa
orang Melayu/Melaka dianggap sebagai bahasa yang paling penting di "dunia
timur". Luasnya penggunaan bahasa Melayu ini melahirkan berbagai varian
lokal dan temporal. Bahasa perdagangan menggunakan bahasa Melayu di berbagai
pelabuhan Nusantara bercampur dengan bahasa Portugis, bahasa Tionghoa,
maupun bahasa setempat. Terjadi proses pidginisasi di beberapa kota pelabuhan
di kawasan timur Nusantara, misalnya di Manado, Ambon, dan Kupang. Orang-orang Tionghoa di Semarang
dan Surabaya juga menggunakan varian bahasa Melayu pidgin. Terdapat pula bahasa Melayu Tionghoa di Batavia. Varian
yang terakhir ini malah dipakai sebagai bahasa pengantar bagi beberapa surat
kabar pertama berbahasa Melayu (sejak akhir abad ke-19). Varian-varian lokal
ini secara umum dinamakan bahasa Melayu Pasar oleh para peneliti
bahasa.
Terobosan penting terjadi ketika pada pertengahan abad
ke-19 Raja Ali Haji dari
istana Riau-Johor (pecahan Kesultanan Melaka) menulis kamus ekabahasa untuk bahasa Melayu. Sejak
saat itu dapat dikatakan bahwa bahasa ini adalah bahasa yang full-fledged,
sama tinggi dengan bahasa-bahasa internasional pada masa itu, karena memiliki
kaidah dan dokumentasi kata yang terdefinisi dengan jelas.
Hingga akhir abad ke-19 dapat dikatakan terdapat paling
sedikit dua kelompok bahasa Melayu yang dikenal masyarakat Nusantara: bahasa
Melayu Pasar yang kolokial dan tidak baku serta bahasa Melayu Tinggi yang
terbatas pemakaiannya tetapi memiliki standar. Bahasa ini dapat dikatakan
sebagai lingua
franca, tetapi kebanyakan berstatus sebagai bahasa kedua atau
ketiga. Kata-kata pinjaman
Bahasa
Indonesia
Pemerintah kolonial Hindia-Belanda menyadari bahwa bahasa
Melayu dapat dipakai untuk membantu administrasi bagi kalangan pegawai pribumi
karena penguasaan bahasa Belanda para pegawai pribumi dinilai lemah. Dengan
menyandarkan diri pada bahasa Melayu Tinggi (karena telah memiliki kitab-kitab
rujukan) sejumlah sarjana Belanda mulai terlibat dalam standardisasi bahasa.
Promosi bahasa Melayu pun dilakukan di sekolah-sekolah dan didukung dengan
penerbitan karya sastra dalam bahasa Melayu. Akibat pilihan ini terbentuklah
"embrio" bahasa Indonesia yang secara perlahan mulai terpisah dari
bentuk semula bahasa Melayu Riau-Johor.
Pada awal abad ke-20 perpecahan dalam bentuk baku tulisan
bahasa Melayu mulai terlihat. Pada tahun 1901, Indonesia (sebagai Hindia-Belanda) mengadopsi
ejaan Van Ophuijsen dan pada tahun 1904 Persekutuan Tanah Melayu (kelak menjadi bagian dari Malaysia)
di bawah Inggris mengadopsi ejaan Wilkinson.[12] Ejaan
Van Ophuysen diawali dari penyusunan Kitab Logat Melayu (dimulai tahun 1896) van Ophuijsen,
dibantu oleh Nawawi Soetan Ma’moer dan Moehammad Taib Soetan Ibrahim.
Intervensi pemerintah semakin kuat dengan dibentuknya Commissie
voor de Volkslectuur ("Komisi Bacaan Rakyat" - KBR) pada tahun
1908. Kelak lembaga ini menjadi Balai Poestaka.
Pada tahun 1910 komisi ini, di bawah pimpinan D.A. Rinkes, melancarkan program Taman Poestaka dengan membentuk perpustakaan kecil
di berbagai sekolah pribumi dan beberapa instansi milik pemerintah.
Perkembangan program ini sangat pesat, dalam dua tahun telah terbentuk sekitar
700 perpustakaan. Bahasa Indonesia secara resmi diakui sebagai "bahasa
persatuan bangsa" pada saat Sumpah Pemuda
tanggal 28 Oktober 1928. Penggunaan bahasa Melayu sebagai
bahasa nasional atas usulan Muhammad Yamin,
seorang politikus, sastrawan, dan ahli sejarah. Dalam pidatonya pada Kongres
Nasional kedua di Jakarta, Yamin mengatakan,
"Jika mengacu
pada masa depan bahasa-bahasa yang ada di Indonesia dan kesusastraannya, hanya
ada dua bahasa yang bisa diharapkan menjadi bahasa persatuan yaitu bahasa Jawa
dan Melayu. Tapi dari dua bahasa itu, bahasa Melayulah yang lambat laun akan
menjadi bahasa pergaulan atau bahasa persatuan."
Selanjutnya perkembangan bahasa dan kesusastraan
Indonesia banyak dipengaruhi oleh sastrawan Minangkabau,
seperti Marah Rusli, Abdul Muis, Nur Sutan Iskandar, Sutan Takdir Alisyahbana, Hamka, Roestam Effendi, Idrus, dan Chairil Anwar.
Sastrawan tersebut banyak mengisi dan menambah perbendaharaan kata, sintaksis, maupun
morfologi bahasa Indonesia.
Peristiwa-peristiwa
penting
|
|
- Tahun 1908 pemerintah kolonial mendirikan sebuah badan penerbit buku-buku bacaan yang diberi nama Commissie voor de Volkslectuur (Taman Bacaan Rakyat), yang kemudian pada tahun 1917 diubah menjadi Balai Pustaka. Badan penerbit ini menerbitkan novel-novel, seperti Siti Nurbaya dan Salah Asuhan, buku-buku penuntun bercocok tanam, penuntun memelihara kesehatan, yang tidak sedikit membantu penyebaran bahasa Melayu di kalangan masyarakat luas.
- Tanggal 16 Juni 1927 Jahja Datoek Kajo menggunakan bahasa Indonesia dalam pidatonya. Hal ini untuk pertamakalinya dalam sidang Volksraad, seseorang berpidato menggunakan bahasa Indonesia.[17]
- Tanggal 28 Oktober 1928 secara resmi Muhammad Yamin mengusulkan agar bahasa Melayu menjadi bahasa persatuan Indonesia.
- Tahun 1933 berdiri sebuah angkatan sastrawan muda yang menamakan dirinya sebagai Pujangga Baru yang dipimpin oleh Sutan Takdir Alisyahbana.
- Tahun 1936 Sutan Takdir Alisyahbana menyusun Tatabahasa Baru Bahasa Indonesia.
- Tanggal 25-28 Juni 1938 dilangsungkan Kongres Bahasa Indonesia I di Solo. Dari hasil kongres itu dapat disimpulkan bahwa usaha pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia telah dilakukan secara sadar oleh cendekiawan dan budayawan Indonesia saat itu.
- Tanggal 18 Agustus 1945 ditandatanganilah Undang-Undang Dasar 1945, yang salah satu pasalnya (Pasal 36) menetapkan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara.
- Tanggal 19 Maret 1947 diresmikan penggunaan ejaan Republik sebagai pengganti ejaan Van Ophuijsen yang berlaku sebelumnya.
- Tanggal 28 Oktober s.d 2 November 1954 diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia II di Medan. Kongres ini merupakan perwujudan tekad bangsa Indonesia untuk terus-menerus menyempurnakan bahasa Indonesia yang diangkat sebagai bahasa kebangsaan dan ditetapkan sebagai bahasa negara.
- Tanggal 16 Agustus 1972 H. M. Soeharto, Presiden Republik Indonesia, meresmikan penggunaan Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan (EYD) melalui pidato kenegaraan di hadapan sidang DPR yang dikuatkan pula dengan Keputusan Presiden No. 57 tahun 1972.
- Tanggal 31 Agustus 1972 Menteri Pendidikan dan Kebudayaan menetapkan Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan dan Pedoman Umum Pembentukan Istilah resmi berlaku di seluruh wilayah Indonesia (Wawasan Nusantara).
- Tanggal 28 Oktober s.d 2 November 1978 diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia III di Jakarta. Kongres yang diadakan dalam rangka memperingati Sumpah Pemuda yang ke-50 ini selain memperlihatkan kemajuan, pertumbuhan, dan perkembangan bahasa Indonesia sejak tahun 1928, juga berusaha memantapkan kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia.
- Tanggal 21-26 November 1983 diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia IV di Jakarta. Kongres ini diselenggarakan dalam rangka memperingati hari Sumpah Pemuda yang ke-55. Dalam putusannya disebutkan bahwa pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia harus lebih ditingkatkan sehingga amanat yang tercantum di dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara, yang mewajibkan kepada semua warga negara Indonesia untuk menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar, dapat tercapai semaksimal mungkin.
- Tanggal 28 Oktober s.d 3 November 1988 diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia V di Jakarta. Kongres ini dihadiri oleh kira-kira tujuh ratus pakar bahasa Indonesia dari seluruh Indonesia dan peserta tamu dari negara sahabat seperti Brunei Darussalam, Malaysia, Singapura, Belanda, Jerman, dan Australia. Kongres itu ditandatangani dengan dipersembahkannya karya besar Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa kepada pencinta bahasa di Nusantara, yakni Kamus Besar Bahasa Indonesia dan Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia.
- Tanggal 28 Oktober s.d 2 November 1993 diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia VI di Jakarta. Pesertanya sebanyak 770 pakar bahasa dari Indonesia dan 53 peserta tamu dari mancanegara meliputi Australia, Brunei Darussalam, Jerman, Hongkong, India, Italia, Jepang, Rusia, Singapura, Korea Selatan, dan Amerika Serikat. Kongres mengusulkan agar Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa ditingkatkan statusnya menjadi Lembaga Bahasa Indonesia, serta mengusulkan disusunnya Undang-Undang Bahasa Indonesia.
- Tanggal 26-30 Oktober 1998 diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia VII di Hotel Indonesia, Jakarta. Kongres itu mengusulkan dibentuknya Badan Pertimbangan Bahasa.
Penyempurnaan ejaan
Ejaan-ejaan untuk bahasa Melayu/Indonesia mengalami
beberapa tahapan sebagai berikut:
Ejaan ini merupakan ejaan bahasa Melayu dengan
huruf Latin. Charles Van Ophuijsen yang dibantu oleh Nawawi Soetan Ma’moer dan Moehammad Taib Soetan Ibrahim
menyusun ejaan baru ini pada tahun 1896. Pedoman tata bahasa yang kemudian
dikenal dengan nama ejaan van Ophuijsen itu resmi diakui pemerintah kolonial
pada tahun 1901. Ciri-ciri dari ejaan ini yaitu:
- Huruf ï untuk membedakan antara huruf i sebagai akhiran dan karenanya harus disuarakan tersendiri dengan diftong seperti mulaï dengan ramai. Juga digunakan untuk menulis huruf y seperti dalam Soerabaïa.
- Huruf j untuk menuliskan kata-kata jang, pajah, sajang, dsb.
- Huruf oe untuk menuliskan kata-kata goeroe, itoe, oemoer, dsb.
- Tanda diakritik, seperti koma ain dan tanda trema, untuk menuliskan kata-kata ma’moer, ’akal, ta’, pa’, dsb.
Ejaan ini diresmikan pada tanggal 19 Maret 1947 menggantikan
ejaan sebelumnya. Ejaan ini juga dikenal dengan nama ejaan Soewandi.
Ciri-ciri ejaan ini yaitu:
- Huruf oe diganti dengan u pada kata-kata guru, itu, umur, dsb.
- Bunyi hamzah dan bunyi sentak ditulis dengan k pada kata-kata tak, pak, rakjat, dsb.
- Kata ulang boleh ditulis dengan angka 2 seperti pada kanak2, ber-jalan2, ke-barat2-an.
- Awalan di- dan kata depan di kedua-duanya ditulis serangkai dengan kata yang mendampinginya.
Konsep ejaan ini dikenal pada akhir tahun 1959. Karena
perkembangan politik selama tahun-tahun berikutnya, diurungkanlah peresmian
ejaan ini.
Ejaan ini diresmikan pemakaiannya pada tanggal 16 Agustus
1972 oleh Presiden Republik Indonesia. Peresmian itu berdasarkan Putusan
Presiden No. 57, Tahun 1972. Dengan EYD, ejaan dua bahasa serumpun, yakni
Bahasa Indonesia dan Bahasa Malaysia, semakin dibakukan.
Perubahan:
Indonesia
(pra-1972) |
Malaysia
(pra-1972) |
Sejak
1972
|
tj
|
ch
|
c
|
dj
|
j
|
j
|
ch
|
kh
|
kh
|
nj
|
ny
|
ny
|
sj
|
sh
|
sy
|
j
|
y
|
y
|
oe*
|
u
|
u
|
Catatan: Tahun 1947 "oe" sudah
digantikan dengan "u".
Senarai kata
serapan dalam bahasa Indonesia
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Kata serapan dalam bahasa Indonesia
Bahasa Indonesia adalah bahasa yang terbuka. Maksudnya
ialah bahwa bahasa ini banyak menyerap kata-kata dari bahasa lain.
Asal
Bahasa
|
Jumlah
Kata
|
3.280 kata
|
|
1.610 kata
|
|
1.495 kata
|
|
Sanskerta-Jawa
Kuno
|
677 kata
|
290 kata
|
|
131 kata
|
|
83 kata
|
|
63 kata
|
|
7 kata
|
|
...
|
Sumber: Buku berjudul "Senarai Kata
Serapan dalam Bahasa Indonesia" (1996) yang disusun oleh Pusat Pembinaan
dan Pengembangan Bahasa (sekarang bernama Pusat Bahasa).
Penggolongan
Indonesia termasuk anggota dari Bahasa Melayu-Polinesia Barat subkelompok dari bahasa Melayu-Polinesia yang pada gilirannya merupakan cabang
dari bahasa Austronesia. Menurut situs Ethnologue,
bahasa Indonesia didasarkan pada bahasa Melayu
dialek Riau yang dituturkan di timur laut Sumatra
Distribusi geografis
Bahasa Indonesia dituturkan di seluruh Indonesia,
walaupun lebih banyak digunakan di area perkotaan (seperti di Jakarta dengan
dialek Betawi
serta logat Betawi).
Penggunaan bahasa di daerah biasanya lebih resmi, dan
seringkali terselip dialek dan logat di daerah bahasa Indonesia itu dituturkan.
Untuk berkomunikasi dengan sesama orang sedaerah kadang bahasa daerahlah
yang digunakan sebagai pengganti untuk bahasa Indonesia.
Kedudukan resmi
Bahasa Indonesia memiliki kedudukan yang sangat penting
seperti yang tercantum dalam:
- Ikrar ketiga Sumpah Pemuda 1928 dengan bunyi, ”Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.
- Undang-Undang Dasar RI 1945 Bab XV (Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan) Pasal 36 menyatakan bahwa ”Bahasa Negara ialah Bahasa Indonesia”.
Dari Kedua hal tersebut, maka kedudukan bahasa Indonesia
sebagai:
- Bahasa kebangsaan, kedudukannya berada di atas bahasa-bahasa daerah.
- Bahasa negara (bahasa resmi Negara Kesatuan Republik Indonesia)
Fonologi
Bahasa Indonesia mempunyai 26 fonem yaitu 21 huruf mati dan 5 huruf hidup. Di
samping itu sistem tata bahasanya sederhana, di mana:
Vokal
|
|||
Depan
|
Madya
|
Belakang
|
|
Tertutup
|
iː
|
uː
|
|
Tengah
|
e
|
ə
|
o
|
Hampir
Terbuka
|
(ɛ)
|
(ɔ)
|
|
Terbuka
|
a
|
Bahasa Indonesia juga mempunyai diftong /ai/, /au/, dan /oi/. Namun, di
dalam suku kata tertutup seperti air kedua vokal tidak diucapkan sebagai
diftong
Konsonan
|
|||||
Bibir
|
Gigi
|
Langit2
keras |
Langit2
lunak |
Celah
suara |
|
Sengau
|
m
|
n
|
ɲ
|
ŋ
|
|
Letup
|
p b
|
t d
|
c ɟ
|
k g
|
ʔ
|
Desis
|
(f)
|
s (z)
|
(ç)
|
(x)
|
h
|
Getar/Sisi
|
|
l r
|
|
|
|
Hampiran
|
w
|
|
j
|
|
|
- Vokal di dalam tanda kurung adalah alofon sedangkan konsonan di dalam tanda kurung adalah fonem pinjaman dan hanya muncul di dalam kata serapan.
- /k/, /p/, dan /t/ tidak diaspirasikan
- /t/ dan /d/ adalah konsonan gigi bukan konsonan rongga gigi seperti di dalam bahasa Inggris.
- /k/ pada akhir suku kata menjadi konsonan letup celah suara
- Penekanan ditempatkan pada suku kata kedua dari terakhir dari kata akar. Namun apabila suku kata ini mengandung pepet maka penekanan pindah ke suku kata terakhir.
Sistem
Penulisan
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Alphabet Indonesia
Huruf
besar
|
Huruf
kecil
|
Huruf
besar
|
Huruf
kecil
|
||
A
|
a
|
/ɑː/
|
N
|
n
|
/n/
|
B
|
b
|
/b/
|
O
|
o
|
/ɔ,
o/
|
C
|
c
|
/tʃ/
|
P
|
p
|
/p/
|
D
|
d
|
/d/
|
Q
|
q
|
/q/
|
E
|
e
|
/e, ɛ/
|
R
|
r
|
/r/
|
F
|
f
|
/f/
|
S
|
s
|
/s/
|
G
|
g
|
/ɡ/
|
T
|
t
|
/t/
|
H
|
h
|
/h/
|
U
|
u
|
/u/
|
I
|
i
|
/i/
|
V
|
v
|
/v, ʋ/
|
J
|
j
|
/dʒ/
|
W
|
w
|
/w/
|
K
|
k
|
/k/
|
X
|
x
|
/ks/
|
L
|
l
|
/l/
|
Y
|
y
|
/j/
|
M
|
m
|
/m/
|
Z
|
z
|
/z/
|
Tata bahasa
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Tata bahasa Indonesia
Dibandingkan dengan bahasa-bahasa Eropa, bahasa Indonesia
tidak menggunakan kata bergender. Sebagai contoh kata ganti seperti
"dia" tidak secara spesifik menunjukkan apakah orang yang disebut itu
lelaki atau perempuan. Hal yang sama juga ditemukan pada kata seperti
"adik" dan "pacar" sebagai contohnya. Untuk memerinci
sebuah jenis kelamin, sebuah kata sifat harus ditambahkan, "adik laki-laki"
sebagai contohnya.
Ada juga kata yang berjenis kelamin, seperti contohnya
"putri" dan "putra". Kata-kata seperti ini biasanya diserap
dari bahasa lain. Pada kasus di atas, kedua kata itu diserap dari bahasa Sanskerta
melalui bahasa Jawa Kuno.
Untuk mengubah sebuah kata benda menjadi bentuk jamak
digunakanlah reduplikasi
(perulangan kata),
tapi hanya jika jumlahnya tidak terlibat dalam konteks. Sebagai contoh
"seribu orang" dipakai, bukan "seribu orang-orang".
Perulangan kata juga mempunyai banyak kegunaan lain, tidak terbatas pada kata
benda.
Bahasa Indonesia menggunakan dua jenis kata ganti orang
pertama jamak, yaitu "kami" dan "kita". "Kami"
adalah kata ganti eksklusif yang berarti tidak termasuk sang lawan bicara,
sedangkan "kita" adalah kata ganti inklusif yang berarti kelompok
orang yang disebut termasuk lawan bicaranya.
Susunan kata dasar yaitu Subyek - Predikat - Obyek (SPO),
walaupun susunan kata lain juga mungkin. Kata kerja tidak di bahasa berinfleksikan kepada orang atau jumlah
subjek dan objek. Bahasa Indonesia juga tidak mengenal kala (tense).
Waktu dinyatakan dengan menambahkan kata keterangan waktu (seperti,
"kemarin" atau "esok"), atau petunjuk lain seperti
"sudah" atau "belum".
Dengan tata bahasa yang cukup sederhana bahasa Indonesia
mempunyai kerumitannya sendiri, yaitu pada penggunaan imbuhan yang
mungkin akan cukup membingungkan bagi orang yang pertama kali belajar bahasa
Indonesia.
Awalan, akhiran, dan sisipan
Bahasa Indonesia mempunyai banyak awalan, akhiran, maupun sisipan, baik yang
asli dari bahasa-bahasa Nusantara maupun dipinjam dari bahasa-bahasa asing.
Fungsi
(pembentuk)
|
Perubahan
bentuk
|
Kaitan
|
|
verba
|
be-; bel-
|
per-
|
|
verba; adjektiva
|
te-; tel-
|
ke-
|
|
verba (aktif)
|
me-; men-; mem-; meny-
|
di-; pe-; ku-; kau;
|
|
verba (pasif)
|
meng-
|
||
nomina; numeralia; verba
(percakapan)
|
ter-
|
||
verba; nomina
|
pe-; pel-
|
ber-
|
|
nomina
|
pe-; pen-; pem-; peny-
|
meng-
|
|
klitika; adverbia
|
|||
verba (aktif)
|
me-
|
Dialek dan ragam bahasa
Lihat pula: Varian-varian
bahasa Melayu
Pada keadaannya bahasa Indonesia menumbuhkan banyak
varian yaitu varian menurut pemakai yang disebut sebagai dialek dan varian menurut pemakaian yang
disebut sebagai ragam
bahasa.
Dialek dibedakan atas
hal ihwal berikut:
- Dialek regional, yaitu rupa-rupa bahasa yang digunakan di daerah tertentu sehingga ia membedakan bahasa yang digunakan di suatu daerah dengan bahasa yang digunakan di daerah yang lain meski mereka berasal dari eka bahasa. Oleh karena itu, dikenallah bahasa Melayu dialek Ambon, dialek Jakarta (Betawi), atau bahasa Melayu dialek Medan.
- Dialek sosial, yaitu dialek yang digunakan oleh kelompok masyarakat tertentu atau yang menandai tingkat masyarakat tertentu. Contohnya dialek wanita dan dialek remaja.
- Dialek temporal, yaitu dialek yang digunakan pada kurun waktu tertentu. Contohnya dialek Melayu zaman Sriwijaya dan dialek Melayu zaman Abdullah.
- Idiolek, yaitu keseluruhan ciri bahasa seseorang. Sekalipun kita semua berbahasa Indonesia, kita masing-masing memiliki ciri-ciri khas pribadi dalam pelafalan, tata bahasa, atau pilihan dan kekayaan kata.
Ragam bahasa dalam bahasa Indonesia berjumlah sangat
banyak dan tidak terhad. Maka itu, ia dibagi atas dasar pokok pembicaraan,
perantara pembicaraan, dan hubungan antarpembicara.
Ragam bahasa menurut pokok pembicaraan meliputi:
- ragam undang-undang
- ragam jurnalistik
- ragam ilmiah
- ragam sastra
Ragam bahasa menurut hubungan antarpembicara dibagi atas:
- ragam lisan, terdiri dari:
- ragam percakapan
- ragam pidato
- ragam kuliah
- ragam panggung
- ragam tulis, terdiri dari:
- ragam teknis
- ragam undang-undang
- ragam catatan
- ragam surat-menyurat
Dalam kenyataannya, bahasa baku tidak dapat digunakan
untuk segala keperluan, tetapi hanya untuk:
- komunikasi resmi
- wacana teknis
- pembicaraan di depan khalayak ramai
- pembicaraan dengan orang yang dihormati
Selain keempat penggunaan tersebut, dipakailah ragam
bukan baku.
Lihat pula
- Peribahasa Indonesia
- Bahasa prokem Indonesia
- Bahasa Melayu
- Kata serapan dalam bahasa Indonesia
- Daftar kata serapan dalam bahasa Indonesia
- Bahasa Belanda di Indonesia
- Perbedaan antara bahasa Melayu dan bahasa Indonesia
- Perbedaan antara sebutan bahasa Melayu basahan dan bahasa Indonesia
- Kongres Bahasa Indonesia
Referensi
3.
^ Kridalaksana
H. 1991. Pendekatan tentang Pendekatan Historis dalam Kajian Bahasa Melayu dan
Bahasa Indonesia. Dalam Kridalaksana H. (penyunting). Masa Lampau bahasa
Indonesia: Sebuah Bunga Rampai. Penerbit Kanisius, Yogyakarta.
4.
^ Ki Hajar
Dewantara dalam Kongres Bahasa Indonesia I 1939 di Solo: "jang dinamakan 'Bahasa
Indonesia' jaitoe bahasa Melajoe jang soenggoehpoen pokoknja berasal dari
'Melajoe Riaoe' akan tetapi jang soedah ditambah, dioebah ataoe dikoerangi
menoeroet keperloean zaman dan alam baharoe, hingga bahasa itoe laloe moedah
dipakai oleh rakjat diseloeroeh Indonesia itoe haroes dilakoekan oleh kaoem
ahli jang beralam baharoe, ialah alam kebangsaan Indonesia", dikutip di
Pendahuluan KBBI cetakan
ketiga.
5.
^ Asmadi T.D. Arti Tanggal 2 Mei bagi Bahasa
Indonesia. Laman Lembaga Pers Dr. Sutomo. Edisi 08 Februari 2010.
diakses 5 Maret 2010.
6.
^ Depdiknas Terbitkan Peta
Bahasa Blog BahasaKita 4 Maret 2009, mirror dari berita AntaraOnline
edisi 22 Oktober 2008.
7.
^ http://www.ohio.edu/LINGUISTICS/indonesian/index.html
Why Indonesian is important to learn. Situs pengajaran bahasa Indonesia
di Ohio State University.
8.
^ Farber, Barry.
J. How to learn any language quickly, enjoyably and on your own. Citadel
Press. 1991.
10. ^ Penemuan
prasasti berbahasa Melayu Kuno di Jawa Tengah (berangka tahun abad ke-9) dan di
dekat Bogor (Prasasti Bogor) dari abad ke-10
menunjukkan adanya penyebaran penggunaan bahasa ini di Pulau Jawa
11. ^ Keping Tembaga Laguna (900 M) yang ditemukan di dekat Manila, Pulau Luzon,
berbahasa Melayu Kuna, menunjukkan keterkaitan wilayah itu dengan Sriwijaya.
13. ^ Hal ini tidak
mengherankan karena banyak dari pengusaha penerbitan di kala itu berasal dari
etnis Tionghoa.
17. ^ Etek, Azizah
(2008). Kelah Sang Demang, Jahja Datoek Kajo, Pidato Otokritik di Volksraad
1927 - 1939.
Pranala luar
- (Indonesia) Perjalanan Pengajaran Bahasa Melayu
- (Indonesia) Situs Pusba - Pusat Bahasa
- (Indonesia) Pusatbahasa: Sekilas tentang Sejarah Bahasa Indonesia
- (Indonesia) Kamus Besar Bahasa Indonesia
- (Inggris) Ethnologue edisi 16
- (Indonesia) Piagam Hak Asasi Manusia dalam bahasa Indonesia
- (Indonesia) Tentang Bahasa Indonesia
- (Indonesia) Bahasa Indonesia Flash Thesaurus
Pembelajaran bahasa Indonesia
- (Indonesia) (Inggris) Bahasa Kita
- (Inggris) Wikibooks - Belajar Bahasa Indonesia
- (Inggris) Belajar Bahasa Indonesia
- (Inggris) Belajar Bahasa Indonesia lewat Internet
- (Inggris) Belajar Bahasa Indonesia online
- (Inggris) Indonesia WWW Virtual Library
Kamus Indonesia - asing
- Untuk daftar situs kamus, lihat Kamus
http://id.wikipedia.org/wiki/Bahasa_Indonesia