Senin, 29 Oktober 2012

Pengertian Dalam Etika Profesi

1.1    Pengertian Etika dan Etika Profesi
Kata etik (atau etika) berasal dari kata ethos
(bahasa Yunani) yang berarti karakter, watak kesusilaan atau adat. Sebagai suatu subyek, etika akan berkaitan dengan konsep yang dimiliki oleh individu ataupun kelompok untuk menilai apakah tindakan-tindakan yang telah dikerjakannya itu salah atau benar, buruk atau baik.
Menurut Martin [1993], etika didefinisikan sebagai “the discipline which can act as the performance index or reference for our control system”.
Etika adalah refleksi dari apa yang disebut dengan “self control”, karena segala sesuatunya dibuat dan diterapkan dari dan untuk kepentingan kelompok sosial(profesi) itu sendiri.
Kehadiran organisasi profesi dengan perangkat “built-in mechanism” berupa kode etik profesi dalam hal ini jelas akan diperlukan untuk menjaga martabat serta kehormatan profesi, dan di sisi lain melindungi masyarakat dari segala bentuk penyimpangan maupun penyalah-gunaan keahlian (Wignjosoebroto, 1999).
Sebuah profesi hanya dapat memperoleh kepercayaan dari masyarakat, bilamana dalam diri para elit profesional tersebut ada kesadaran kuat untuk mengindahkan etika profesi pada saat mereka ingin memberikan jasa keahlian profesi kepada masyarakat yang memerlukannya.

1.2    Etika dan Estetika
Etika disebut juga filsafat moral adalah cabang filsafat yang berbicara tentang praxis (tindakan) manusia. Etika tidak mempersoalkan keadaan manusia, melainkan mempersoalkan bagaimana manusia harus bertindak. Tindakan manusia ini ditentukan oleh bermacam-macam norma.
Norma ini masih dibagi lagi menjadi norma hukum, norma moral, norma agama  dan norma sopan santun. Norma hukum berasal dari hukum dan perundang- undangan, norma agama berasal dari agama sedangkan norma moral berasal dari suara batin. Norma sopan santun  berasal dari  kehidupan sehari-hari sedangkan norma moral berasal dari etika.

1.3 Etika dan Etiket
Etika (ethics) berarti moral sedangkan etiket (etiquette) berarti sopan santun. Persamaan antara etika dengan etiket yaitu:
•   Etika dan etiket menyangkut perilaku manusia. Istilah tersebut dipakai mengenai manusia tidak mengenai binatang karena binatang tidak mengenal etika maupun etiket.
•   Kedua-duanya mengatur perilaku manusia secara normatif artinya memberi norma bagi perilaku manusia dan dengan demikian menyatakan apa yag harus dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan. Justru karena sifatnya normatif maka kedua istilah tersebut sering dicampuradukkan.
Perbedaan antara etika dengan etiket
1. Etiket menyangkut cara melakukan perbuatan manusia. Etiket menunjukkan cara yang tepat artinya cara yang diharapkan serta ditentukan dalam sebuah kalangan tertentu.Etika tidak terbatas pada cara melakukan sebuah perbuatan, etika memberi norma tentang perbuatan itu sendiri. Etika menyangkut masalah apakah sebuah perbuatan boleh dilakukan atau tidak boleh dilakukan.
2.  Etiket hanya berlaku untuk pergaulan.Etika selalu berlaku walaupun tidak ada orang lain. Barang yang dipinjam harus dikembalikan walaupun pemiliknya sudah lupa.
3. Etiket bersifat relatif. Yang dianggap tidak sopan dalam sebuah kebudayaan, dapat saja dianggap sopan dalam kebudayaan lain.Etika jauh lebih absolut. Perintah seperti “jangan berbohong”, “jangan mencuri” merupakan prinsip etika yang tidak dapat ditawar-tawar.
4.   Etiket hanya memadang manusia dari segi lahiriah saja sedangkan etika memandang manusia dari segi dalam. Penipu misalnya tutur katanya lembut, memegang etiket namun menipu. Orang dapat memegang etiket namun munafik sebaliknya seseorang yang berpegang pada etika tidak mungkin munafik karena seandainya dia munafik maka dia tidak bersikap etis. Orang yang bersikap etis adalah orang yang sungguh-sungguh baik.

1.4 Etika dan Ajaran Moral
Etika perlu dibedakan dari moral. Ajaran moral memuat pandangan tentang nilai dan norma moral yang terdapat pada sekelompok manusia. Ajaran moral mengajarkan bagaimana orang harus hidup. Ajaran moral merupakan rumusan sistematik terhadap anggapan tentang apa yang bernilai serta kewajiban manusia.
Etika merupakan ilmu tentang norma, nilai dan ajaran moral. Etika merupakan filsafat yang merefleksikan ajaran moral. Pemikiran filsafat mempunyai 5 ciri khas yaitu bersifat rasional, kritis, mendasar, sistematik dan normatif (tidak sekadar melaporkan pandangan moral melainkan menyelidiki bagaimana pandangan moral yang sebenarnya).
Pluralisme moral diperlukan karena:
1. pandangan moral yang berbeda-beda karena adanya perbedaan suku,daerah budaya dan agama yang hidup berdampingan;
2. modernisasi membawa perubahan besar dalam struktur dan nilai kebutuhan masyarakat yang akibatnya menantang pandangan moral tradisional;
3.    berbagai ideologi menawarkan diri sebagai penuntun kehidupan, masing-masing dengan ajarannya sendiri tentang bagaimana manusia harus hidup.
Etika sosial dibagi menjadi:
•    Sikap terhadap sesama;
•    Etika keluarga;
•    Etika profesi,  misalnya etika untuk dokumentalis, pialang informasi;
•    Etika politik;
•    Etika lingkungan hidup; serta
•    Kritik ideologi.
Moralitas
Ajaran moral memuat pandangan tentang nilai dan norma moral yang terdapat di antara sekelompok manusia. Adapun nilai moral adalah kebaikan manusia sebagai manusia.
Norma moral adalah tentang bagaimana manusia harus hidup supaya menjadi baik sebagai manusia. Ada perbedaan antara kebaikan moral dan kebaikan pada umumnya. Kebaikan moral merupakan kebaikan manusia sebagai manusia sedangkan kebaikan pada umumnya merupakan kebaikan manusia dilihat dari satu segi saja, misalnya sebagai suami atau isteri.
Moral berkaitan dengan moralitas. Moralitas adalah sopan santun, segala sesuatu yang berhubungan dengan etiket atau sopan santun. Moralitas dapat berasal dari sumber  tradisi atau adat, agama atau sebuah ideologi atau gabungan dari beberapa sumber.
Pluralisme moral
Etika bukan sumber tambahan moralitas melainkan merupakan filsafat yang mereflesikan ajaran moral. Pemikiran filsafat mempunyai lima ciri khas yaitu rasional, kritis, mendasar, sistematik dan normatif.
Rasional berarti mendasarkan diri pada rasio atau nalar, pada argumentasi yang bersedia untuk dipersoalkan tanpa perkecualian. Kritis berarti filsafat ingin mengerti sebuah masalah sampai ke akar-akarnya, tidak puas dengan pengertian dangkal. Sistematis artinya membahas langkah demi langkah. Normatif menyelidiki bagaimana pandangan moral yang seharusnya.
Etika dan Agama
Etika tidak dapat menggantikan agama. Agama merupakan hal yang tepat untuk memberikan orientasi moral. Pemeluk agama menemukan orientasi dasar kehidupan dalam agamanya. Akan tetapi agama itu memerlukan ketrampilan etika agar dapat memberikan orientasi, bukan sekadar indoktrinasi.  Hal ini disebabkan empat alasan sebagai berikut:
1.  Orang agama mengharapkan agar ajaran agamanya rasional. Ia tidak puas mendengar bahwa Tuhan memerintahkan sesuatu, tetapi ia juga ingin mengerti mengapa Tuhan memerintahkannya. Etika dapat membantu menggali rasionalitas agama.
2. Seringkali ajaran moral yang termuat dalam wahyu mengizinkan interpretasi yang saling berbeda dan bahkan bertentangan.
3.     Karena perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan masyarakat maka agama menghadapi masalah moral yang secara langsung tidak disinggung- singgung dalam wahyu. Misalnya bayi tabung, reproduksi manusia dengan gen yang sama.
4.      Adanya perbedaan antara etika dan ajaran moral. Etika mendasarkan diri pada argumentasi rasional semata-mata sedangkan agama pada wahyunya sendiri. Oleh karena itu ajaran agama hanya terbuka pada mereka yang mengakuinya sedangkan etika terbuka bagi setiap orang dari semua agama dan pandangan dunia.

1.5 Istilah berkaitan
Kata etika sering dirancukan dengan istilah etiket, etis, ethos, iktikad dan kode etik atau kode etika. Etika adalah ilmu yang mempelajari apa yang baik dan buruk. Etiket adalah ajaran sopan santun yang berlaku bila manusia bergaul atau berkelompok dengan manusia lain. Etiket tidak berlaku bila seorang manusia hidup sendiri misalnya hidup di sebuah pulau terpencil atau di tengah hutan.
Etis artinya sesuai dengan ajaran moral, misalnya tidak etis menanyakan usia pada seorang wanita. Ethos artinya sikap dasar seseorang dalam bidang tertentu. Maka ada ungkapan ethos kerja artinya sikap dasar seseorang dalam pekerjaannya, misalnya ethos kerja yang tinggi artinya dia menaruh sikap dasar yang tinggi terhadap pekerjaannya. Kode atika atau kode etik artinya daftar kewajiban dalam menjalankan tugas sebuah profesi yang disusun oleh anggota profesi dan mengikat anggota dalam menjalankan tugasnya.

PROFESI, KODE ETIK DAN PROFESIONALISME

Definisi Profesi:
Profesi merupakan kelompok lapangan kerja yang khusus melaksanakan kegiatan yang memerlukan ketrampilan dan keahlian tinggi guna memenuhi kebutuhan yang rumit dari manusia, di dalamnya pemakaian dengan cara yang benar akan ketrampilan dan keahlian tinggi, hanya dapat dicapai dengan dimilikinya penguasaan pengetahuan dengan ruang lingkup yang luas, mencakup sifat manusia, kecenderungan sejarah dan lingkungan hidupnya; serta adanya disiplin etika yang dikembangkan dan diterapkan oleh kelompok anggota yang menyandang profesi tersebut.
Tiga (3) Ciri Utama Profesi
1.      Sebuah profesi mensyaratkan  pelatihan ekstensif sebelum memasuki sebuah profesi;
2.      Pelatihan tersebut meliputi komponen intelektual yang signifikan;
3.     Tenaga yang terlatih mampu memberikan jasa yang penting kepada masyarakat.

Tiga (3) Ciri Tambahan Profesi

1.  Adanya proses lisensi atau sertifikat;
2.  Adanya organisasi;
3.  Otonomi dalam pekerjaannya.
Tiga Fungsi dari Kode Etik Profesi
1.    Kode etik profesi memberikan pedoman bagi setiap anggota profesi  tentang prinsip profesionalitas yang digariskan;
2.  Kode etik profesi merupakan sarana kontrol sosial bagi masyarakat  atas profesi yang bersangkutan;
3.  Kode etik profesi mencegah campur tangan pihak diluar organisasi  profesi tentang hubungan etika dalam keanggotaan profesi
Etika terbagi atas 2 bidang besar
1.  Etika umum
1.1 Prinsip;
1.2 Moral.
2.  Etika khusus
2.1 Etika Individu;
2.2 Etika Sosial.
Etika sosial yang hanya berlaku bagi kelompok profesi tertentu disebut kode etika atau kode etik.
Kode Etik
Kode etik adalah sistem norma, nilai dan aturan profesional tertulis yang secara tegas menyatakan apa yang benar dan baik, dan apa yang tidak benar dan tidak baik bagi profesional. Kode etik menyatakan perbuatan apa yang benar atau salah, perbuatan apa yang harus dilakukan dan apa yang harus dihindari.
Tujuan kode etik agar profesional memberikan jasa sebaik-baiknya kepada pemakai atau nasabahnya. Adanya kode etik akan melindungi perbuatan yang tidak profesional.
Sifat Kode Etik Profesional
Sifat dan orientasi kode etik hendaknya:
1.  Singkat;
2.  Sederhana;
3.  Jelas dan Konsisten;
4.  Masuk Akal;
5.  Dapat Diterima;
6.  Praktis dan Dapat Dilaksanakan;
7.  Komprehensif dan Lengkap, dan
8.  Positif dalam Formulasinya.

Orientasi Kode Etik hendaknya ditujukan kepada:

1.  Rekan,
2.  Profesi,
3.  Badan,
4.  Nasabah/Pemakai,
5.  Negara, dan
6.  Masyarakat.
Kode Etik Ilmuwan Informasi
Pada tahun 1895 muncullah istilah dokumentasi sedangkan orang yang bergerak dalam bidang dokumentasi menyebut diri mereka sebagai dokumentalis, digunakan di Eropa Barat.
Di AS, istilah dokumentasi diganti menjadi ilmu informasi; American Documentation Institute (ADI) kemudian diganti menjadi American Society for Information (ASIS). ASIS Professionalism Committee yang membuat rancangan ASIS Code of Ethics for Information Professionals.
Kode etik yang dihasilkan terdiri dari preambul dan 4 kategori pertanggungan jawab etika, masing-masing pada pribadi, masyarakat, sponsor, nasabah atau atasan dan pada profesi.
Kesulitan menyusun kode etik menyangkut (a) apakah yang dimaksudkan dengan kode etik dan bagaimana seharunya; (b) bagaimana kode tersebut akan digunakan; (c) tingkat rincian kode etik dan (d) siapa yang menjadi sasaran kode etik dan kode etik diperuntukkan bagi kepentingan siapa.
Profesionalisme
Profesionalisme adalah suatu paham yang mencitakan dilakukannya kegiatan-kegiatan kerja tertentu dalam masyarakat, berbekalkan keahlian yang tinggi dan berdasarkan rasa keterpanggilan –serta ikrar untuk menerima panggilan tersebut– dengan semangat    pengabdian selalu siap memberikan pertolongan
kepada sesama yang tengah dirundung kesulitan di tengah gelapnya kehidupan
(Wignjosoebroto, 1999).

Tiga Watak Kerja Profesionalisme

1.   kerja seorang profesional itu beritikad untuk merealisasikan kebajikan demi tegaknya kehormatan profesi yang digeluti, dan oleh karenanya tidak terlalu mementingkan atau mengharapkan imbalan upah materiil;
2.     kerja seorang profesional itu harus dilandasi oleh kemahiran teknis yang berkualitas tinggi yang dicapai melalui proses pendidikan dan/atau pelatihan yang panjang, ekslusif dan berat;
3.      kerja seorang profesional –diukur dengan kualitas teknis dan kualitas moral– harus menundukkan diri pada sebuah mekanisme kontrol berupa kode etik yang dikembangkan dan disepakati bersama di dalam sebuah organisasi profesi.
Menurut Harris [1995] ruang gerak seorang profesional ini akan diatur melalui etika profesi yang distandarkan dalam bentuk kode etik profesi. Pelanggaran terhadap kode etik profesi bisa dalam berbagai bentuk, meskipun dalam praktek yang umum dijumpai akan mencakup dua kasus utama, yaitu:
a.     Pelanggaran terhadap perbuatan yang tidak mencerminkan respek terhadap nilai-nilai yang seharusnya dijunjung tinggi oleh profesi itu. Memperdagangkan jasa atau membeda-bedakan pelayanan jasa atas dasar keinginan untuk mendapatkan keuntungan uang yang berkelebihan ataupun kekuasaan merupakan perbuatan yang sering dianggap melanggar kode etik profesi;
b.    Pelanggaran terhadap perbuatan pelayanan jasa profesi yang kurang mencerminkan kualitas keahlian yang sulit atau kurang dapat dipertanggung-jawabkan menurut standar maupun kriteria profesional.
ETIKA PEMANFAATAN TEKNOLOGI INFORMASI
Dampak pemanfaatan teknologi informasi yang kurang tepat sebagai berikut (I Made Wiryana):
?    Rasa takut;
?    Keterasingan;
?    Golongan miskin informasi dan minoritas;
?    Pentingnya individu;
?    Tingkat kompleksitas serta kecepatan yang sudah tidak dapat ditangani;
?    Makin rentannya organisasi;
?    Dilanggarnya privasi;
?    Pengangguran dan pemindahan kerja;
?    Kurangnya tanggung jawab profesi;
?    Kaburnya citra manusia.
Beberapa langkah untuk menghadapi dampak pemanfaatan TI (I Made Wiryana):
a.   Desain yang berpusat pada manusia;
b.   Dukungan organisasi;
c.   Perencanaan pekerjaan;
d.   Pendidikan;
e.   Umpan balik dan imbalan;
f.    Meningkatkan kesadaran publik;
g.   Perangkat hukum;
h.   Riset yang maju.
Etika Penggunaan TI
Etika secara umum didefinisikan sebagai suatu kepercayaan atau pemikiran yang mengisi suatu individu, yang keberadaannya bisa dipertanggungjawabkan terhadap masyarakat atas prilaku yang diperbuat.
Biasanya pengertian etika akan berkaitan dengan masalah moral. Moral adalah tradisi kepercayaan mengenai prilaku benar dan salah yang diakui oleh manusia secara universal. Perbedaannya bahwa etika akan menjadi berbeda dari masyarakat satu dengan masyarakat yang lain.
Dua aktivitas utama Etika Komputer
(James H. Moore)
1. waspada,
2. sadar.
Tiga alasan utama minat masyarakat yang tinggi pada etika komputer
1.     kelenturan logika (logical malleability), kemampuan memrograman komputer untuk melakukan apa pun yang kita inginkan.
2.      faktor transformasi (transformation factors),
Contoh fasilitas e-mail yang bisa sampai tujuan dan dapat dibuka atau dibaca dimanapun kita berada,
3.   faktor tak kasat mata (invisibility factors).
Semua operasi internal komputer tersembunyi dari penglihatan, yang membuka peluang pada nilai-nilai pemrograman yang tidak terlihat, perhitungan yang rumit terlihat dan penyalahgunaan yang tidak tampak
Hak Sosial dan Komputer
(Deborah Johnson)
1.    Hak atas akses komputer, yaitu setiap orang berhak untuk mengoperasikan komputer dengan tidak harus memilikinya. Sebagai contoh belajar tentang komputer dengan memanfaatkan software yang ada;
2.    Hak atas keahlian komputer, pada awal komputer dibuat, terdapat kekawatiran yang luas terhadap masyarakat akan terjadinya pengangguran karena beberapa peran digantikan oleh komputer. Tetapi pada kenyataannya dengan keahlian di bidang komputer dapat membuka peluang pekerjaan yang lebih banyak;
3.    Hak atas spesialis komputer, pemakai komputer tidak semua menguasai akan ilmu yang terdapat pada komputer yang begitu banyak dan luas. Untuk bidang tertentu diperlukan spesialis bidang komputer, seperti kita membutuhkan dokter atau pengacara;
4.    Hak atas pengambilan keputusan komputer, meskipun masyarakat tidak berpartisipasi dalam pengambilan keputusan mengenai bagaimana komputer diterapkan, namun masyarakat memiliki hak tersebut.

Hak atas Informasi

(Richard O. Masson)
1.    Hak atas privasi, sebuah informasi yang sifatnya pribadi baik secara individu maupu dalam suatu organisasi mendapatkan perlindungan atas hukum tentang kerahasiannya;
2.  Hak atas Akurasi. Komputer dipercaya dapat mencapai tingkat akurasi yang tidak bisa dicapai oleh sistem nonkomputer, potensi ini selalu ada meskipun tidak selalu tercapai;
3.    Hak atas kepemilikan. Ini berhubungan dengan hak milik intelektual, umumnya dalam bentuk program-program komputer yang dengan mudahnya dilakukan penggandaan atau disalin secara ilegal. Ini bisa dituntut di pengadilan;
4.    Hak atas akses. Informasi memiliki nilai, dimana setiap kali kita akan mengaksesnya harus melakukan account atau izin pada pihak yang memiliki informasi tersebut. Sebagai contoh kita dapat membaca data-data penelitian atau buku-buku online di Internet yang harus bayar untuk dapat mengaksesnya.
Kontrak Sosial Jasa Informasi
?    Komputer tidak akan digunakan dengan sengaja untuk menggangu privasi orang;
?    Setiap ukuran akan dibuat untuk memastikan akurasi pemroses data;
?    Hak milik intelektual akan dilindungi.

Perilaku-perilaku profesional SIM:

?    Memanfaatkan kesempatan untuk berperilaku tidak etis;
?    Etika yang membuahkan hasil;
?    Perusahaan dan manajer memiliki tanggung jawab sosial;
?    Manajer mendukung keyakinan etika mereka dengan tindakan.
Sepuluh langkah dalam mengelompokkan perilaku dan menekankan standar etika berupa:
Formulasikan suatu kode perilaku;
?    Tetapkan aturan prosedur yang berkaitan dengan masalah-masalah seperti penggunaan jasa komputer untuk pribadi dan hak milik atas program dan data komputer;
?    Jelaskan sanksi yang akan diambil terhadap pelanggar, seperti tenguran, penghentian, dan tuntutan;
?    Kenali perilaku etis;
?    Fokuskan perhatian pada etika secara terprogram seperti pelatihan dan bacaan yang disyaratkan;
?    Promosikan undang-undang kejahatan komputer pada karyawan. Simpan suatu catatan formal yang menetapkan pertanggungjawaban tiap spesialis informasi untuk semua tindakan, dan kurangi godaan untuk melanggar dengan program-program seperti audit etika.
?    Mendorong penggunaan program rehabilitasi yang memperlakukan pelanggar etika dengan cara yang sama seperti perusahaan mempedulikan pemulihan bagi alkoholik atau penyalahgunaan obat bius;
?    Dorong partisipasi dalam perkumpulan profesional;
?    Berikan contoh.
KOMPETENSI PEKERJAAN DI BIDANG TI
Kategori lowongan pekerjaan yang ditawarkan di lingkungan Penyedia Jasa Internet (PJI) atau Internet Service Provider (ISP):
1. Web Developer / Programmer;
2. Web Designer;
3. Database Administrator;
4. System Administrator;
5. Network Administrator;
6. Help Desk, dan
7. Technical Support.
Kompetensi dasar standar (standard core competency) yang harus dimiliki oleh ke semua kategori lapangan pekerjaan yaitu:
1.  Kemampuan mengoperasikan perangkat  keras, dan
2.  Mengakses Internet.
1. Web Developer / Programmer
Kompetensi yang harus dimiliki :
1.  Membuat halaman web dengan multimedia, dan
2.  CGI programming.
2. Web Designer
2. Web Designer;
Kompetensi yang harus dimiliki:
1.  Kemampuan menangkap digital image,
2.  Membuat halaman web dengan multimedia.
3. Database Administrator
3. Database Administrator;
Kompetensi yang harus dimiliki:
•  Monitor dan administer sebuah database
4. Help Desk
Kompetensi yang harus dimiliki:
•  Penggunaan perangkat lunak Internet berbasis Windows seperti Internet Explorer, telnet, ftp,    IRC.
5. System Administrator
Kompetensi yang harus dimiliki:
•  Menghubungkan perangkat keras;
•  Melakukan instalasi Microsoft Windows;
•  Melakukan instalasi Linux;
•  Pasang dan konfigurasi mail server, ftp server, web server, dan
•  Memahami Routing
6. Network Administrator
Kompetensi yang harus dimiliki:
•   Menghubungkan perangkat keras;
•   Administer dan melakukan konfigurasi sistem operasi yang mendukung network;
•   Administer perangkat network;
•   Memahami Routing;
•   Mencari sumber kesalahan di jaringan dan memperbaikinya;
•   Mengelola network security;
•   Monitor dan administer network security.
7. Technical Support
Kompetensi yang harus dimiliki:
•   Menghubungkan perangkat keras;
•   Melakukan instalasi Microsoft Windows;
•   Melakukan instalasi Linux;
•   Mencari sumber kesalahan di jaringan dan memperbaikinya;
•   Penggunaan perangkat lunak Internet berbasis Windows seperti Internet Explorer, telnet, ftp, IRC;
•   Pasang dan konfigurasi mail server, ftp server, web server.

http://felix3utama.wordpress.com/2008/12/01/pengertian-dalam-etika-profesi/

ETIKA PEMANFAATAN TEKNOLOGI INFORMASI

Dampak pemanfaatan teknologi informasi yang kurang tepat sebagai berikut (I Made Wiryana):

    Rasa takut;
    Keterasingan;
    Golongan miskin informasi dan minoritas;
    Pentingnya individu;
    Tingkat kompleksitas serta kecepatan yang sudah tidak dapat ditangani;
    Makin rentannya organisasi;
    Dilanggarnya privasi;
    Pengangguran dan pemindahan kerja;
    Kurangnya tanggung jawab profesi;
    Kaburnya citra manusia.

Beberapa langkah untuk menghadapi dampak pemanfaatan TI (I Made Wiryana):

a.   Desain yang berpusat pada manusia;
b.   Dukungan organisasi;
c.   Perencanaan pekerjaan;
d.   Pendidikan;
e.   Umpan balik dan imbalan;
f.    Meningkatkan kesadaran publik;
g.   Perangkat hukum;
h.   Riset yang maju.

Etika Penggunaan TI
Etika secara umum didefinisikan sebagai suatu kepercayaan atau pemikiran yang mengisi suatu individu, yang keberadaannya bisa dipertanggungjawabkan terhadap masyarakat atas prilaku yang diperbuat.
Biasanya pengertian etika akan berkaitan dengan masalah moral. Moral adalah tradisi kepercayaan mengenai prilaku benar dan salah yang diakui oleh manusia secara universal. Perbedaannya bahwa etika akan menjadi berbeda dari masyarakat satu dengan masyarakat yang lain.
Dua aktivitas utama Etika Komputer
(James H. Moore)
1. waspada,
2. sadar.

Tiga alasan utama minat masyarakat yang tinggi pada etika komputer
1.     kelenturan logika (logical malleability), kemampuan memrograman komputer untuk melakukan apa pun yang kita inginkan.
2.      faktor transformasi (transformation factors),
Contoh fasilitas e-mail yang bisa sampai tujuan dan dapat dibuka atau dibaca dimanapun kita berada,
3.   faktor tak kasat mata (invisibility factors).
Semua operasi internal komputer tersembunyi dari penglihatan, yang membuka peluang pada nilai-nilai pemrograman yang tidak terlihat, perhitungan yang rumit terlihat dan penyalahgunaan yang tidak tampak

Hak Sosial dan Komputer
(Deborah Johnson)
1.    Hak atas akses komputer, yaitu setiap orang berhak untuk mengoperasikan komputer dengan tidak harus memilikinya. Sebagai contoh belajar tentang komputer dengan memanfaatkan software yang ada;
2.    Hak atas keahlian komputer, pada awal komputer dibuat, terdapat kekawatiran yang luas terhadap masyarakat akan terjadinya pengangguran karena beberapa peran digantikan oleh komputer. Tetapi pada kenyataannya dengan keahlian di bidang komputer dapat membuka peluang pekerjaan yang lebih banyak;
3.    Hak atas spesialis komputer, pemakai komputer tidak semua menguasai akan ilmu yang terdapat pada komputer yang begitu banyak dan luas. Untuk bidang tertentu diperlukan spesialis bidang komputer, seperti kita membutuhkan dokter atau pengacara;
4.    Hak atas pengambilan keputusan komputer, meskipun masyarakat tidak berpartisipasi dalam pengambilan keputusan mengenai bagaimana komputer diterapkan, namun masyarakat memiliki hak tersebut.

Hak atas Informasi

(Richard O. Masson)
1.    Hak atas privasi, sebuah informasi yang sifatnya pribadi baik secara individu maupu dalam suatu organisasi mendapatkan perlindungan atas hukum tentang kerahasiannya;
2.  Hak atas Akurasi. Komputer dipercaya dapat mencapai tingkat akurasi yang tidak bisa dicapai oleh sistem nonkomputer, potensi ini selalu ada meskipun tidak selalu tercapai;
3.    Hak atas kepemilikan. Ini berhubungan dengan hak milik intelektual, umumnya dalam bentuk program-program komputer yang dengan mudahnya dilakukan penggandaan atau disalin secara ilegal. Ini bisa dituntut di pengadilan;
4.    Hak atas akses. Informasi memiliki nilai, dimana setiap kali kita akan mengaksesnya harus melakukan account atau izin pada pihak yang memiliki informasi tersebut. Sebagai contoh kita dapat membaca data-data penelitian atau buku-buku online di Internet yang harus bayar untuk dapat mengaksesnya.

Kontrak Sosial Jasa Informasi
    Komputer tidak akan digunakan dengan sengaja untuk menggangu privasi orang;
   
    Setiap ukuran akan dibuat untuk memastikan akurasi pemroses data;

    Hak milik intelektual akan dilindungi.

Perilaku-perilaku profesional SIM:

    Memanfaatkan kesempatan untuk berperilaku tidak etis;

    Etika yang membuahkan hasil;

    Perusahaan dan manajer memiliki tanggung jawab sosial;

    Manajer mendukung keyakinan etika mereka dengan tindakan.

Sepuluh langkah dalam mengelompokkan perilaku dan menekankan standar etika berupa:

ormulasikan suatu kode perilaku;
    Tetapkan aturan prosedur yang berkaitan dengan masalah-masalah seperti penggunaan jasa komputer

untuk pribadi dan hak milik atas program dan data komputer;
    Jelaskan sanksi yang akan diambil terhadap pelanggar, seperti tenguran, penghentian, dan tuntutan;
  
    Kenali perilaku etis;
  
    Fokuskan perhatian pada etika secara terprogram seperti pelatihan dan bacaan yang disyaratkan;
  
    Promosikan undang-undang kejahatan komputer pada karyawan. Simpan suatu catatan formal yang menetapkan pertanggungjawaban tiap spesialis informasi untuk semua tindakan, dan kurangi godaan untuk melanggar dengan program-program seperti audit etika.

    Mendorong penggunaan program rehabilitasi yang memperlakukan pelanggar etika dengan cara yang sama seperti perusahaan mempedulikan pemulihan bagi alkoholik atau penyalahgunaan obat bius;

    Dorong partisipasi dalam perkumpulan profesional;

    Berikan contoh.

PROFESI, KODE ETIK DAN PROFESIONALISME

Definisi Profesi:
 
Profesi merupakan kelompok lapangan kerja yang khusus melaksanakan kegiatan yang memerlukan ketrampilan dan keahlian tinggi guna memenuhi kebutuhan yang rumit dari manusia, di dalamnya pemakaian dengan cara yang benar akan ketrampilan dan keahlian tinggi, hanya dapat dicapai dengan dimilikinya penguasaan pengetahuan dengan ruang lingkup yang luas, mencakup sifat manusia, kecenderungan sejarah dan lingkungan hidupnya; serta adanya disiplin etika yang dikembangkan dan diterapkan oleh kelompok anggota yang menyandang profesi tersebut.

Tiga (3) Ciri Utama Profesi
1.      Sebuah profesi mensyaratkan  pelatihan ekstensif sebelum memasuki sebuah profesi;
2.      Pelatihan tersebut meliputi komponen intelektual yang signifikan;
3.     Tenaga yang terlatih mampu memberikan jasa yang penting kepada masyarakat.

Tiga (3) Ciri Tambahan Profesi

1.  Adanya proses lisensi atau sertifikat;
2.  Adanya organisasi;
3.  Otonomi dalam pekerjaannya.

Tiga Fungsi dari Kode Etik Profesi
1.    Kode etik profesi memberikan pedoman bagi setiap anggota profesi  tentang prinsip profesionalitas yang digariskan;
2.  Kode etik profesi merupakan sarana kontrol sosial bagi masyarakat  atas profesi yang bersangkutan;
3.  Kode etik profesi mencegah campur tangan pihak diluar organisasi  profesi tentang hubungan etika dalam keanggotaan profesi

Etika terbagi atas 2 bidang besar
1.  Etika umum
1.1 Prinsip;
1.2 Moral.
2.  Etika khusus
2.1 Etika Individu;
2.2 Etika Sosial.
Etika sosial yang hanya berlaku bagi kelompok profesi tertentu disebut kode etika atau kode etik.

Kode Etik
Kode etik adalah sistem norma, nilai dan aturan profesional tertulis yang secara tegas menyatakan apa yang benar dan baik, dan apa yang tidak benar dan tidak baik bagi profesional. Kode etik menyatakan perbuatan apa yang benar atau salah, perbuatan apa yang harus dilakukan dan apa yang harus dihindari.
Tujuan kode etik agar profesional memberikan jasa sebaik-baiknya kepada pemakai atau nasabahnya. Adanya kode etik akan melindungi perbuatan yang tidak profesional.
Sifat Kode Etik Profesional

Sifat dan orientasi kode etik hendaknya:
1.  Singkat;
2.  Sederhana;
3.  Jelas dan Konsisten;
4.  Masuk Akal;
5.  Dapat Diterima;
6.  Praktis dan Dapat Dilaksanakan;
7.  Komprehensif dan Lengkap, dan
8.  Positif dalam Formulasinya.

Orientasi Kode Etik hendaknya ditujukan kepada:

1.  Rekan,
2.  Profesi,
3.  Badan,
4.  Nasabah/Pemakai,
5.  Negara, dan
6.  Masyarakat.

Kode Etik Ilmuwan Informasi
Pada tahun 1895 muncullah istilah dokumentasi sedangkan orang yang bergerak dalam bidang dokumentasi menyebut diri mereka sebagai dokumentalis, digunakan di Eropa Barat.
Di AS, istilah dokumentasi diganti menjadi ilmu informasi; American Documentation Institute (ADI) kemudian diganti menjadi American Society for Information (ASIS). ASIS Professionalism Committee yang membuat rancangan ASIS Code of Ethics for Information Professionals.
Kode etik yang dihasilkan terdiri dari preambul dan 4 kategori pertanggungan jawab etika, masing-masing pada pribadi, masyarakat, sponsor, nasabah atau atasan dan pada profesi.
Kesulitan menyusun kode etik menyangkut (a) apakah yang dimaksudkan dengan kode etik dan bagaimana seharunya; (b) bagaimana kode tersebut akan digunakan; (c) tingkat rincian kode etik dan (d) siapa yang menjadi sasaran kode etik dan kode etik diperuntukkan bagi kepentingan siapa.

Profesionalisme
Profesionalisme adalah suatu paham yang mencitakan dilakukannya kegiatan-kegiatan kerja tertentu dalam masyarakat, berbekalkan keahlian yang tinggi dan berdasarkan rasa keterpanggilan –serta ikrar untuk menerima panggilan tersebut– dengan semangat    pengabdian selalu siap memberikan pertolongan
kepada sesama yang tengah dirundung kesulitan di tengah gelapnya kehidupan
(Wignjosoebroto, 1999).

Tiga Watak Kerja Profesionalisme

1.   kerja seorang profesional itu beritikad untuk merealisasikan kebajikan demi tegaknya kehormatan profesi yang digeluti, dan oleh karenanya tidak terlalu mementingkan atau mengharapkan imbalan upah materiil;
2.     kerja seorang profesional itu harus dilandasi oleh kemahiran teknis yang berkualitas tinggi yang dicapai melalui proses pendidikan dan/atau pelatihan yang panjang, ekslusif dan berat;
3.      kerja seorang profesional –diukur dengan kualitas teknis dan kualitas moral– harus menundukkan diri pada sebuah mekanisme kontrol berupa kode etik yang dikembangkan dan disepakati bersama di dalam sebuah organisasi profesi.
Menurut Harris [1995] ruang gerak seorang profesional ini akan diatur melalui etika profesi yang distandarkan dalam bentuk kode etik profesi. Pelanggaran terhadap kode etik profesi bisa dalam berbagai bentuk, meskipun dalam praktek yang umum dijumpai akan mencakup dua kasus utama, yaitu:
a.     Pelanggaran terhadap perbuatan yang tidak mencerminkan respek terhadap nilai-nilai yang seharusnya dijunjung tinggi oleh profesi itu. Memperdagangkan jasa atau membeda-bedakan pelayanan jasa atas dasar keinginan untuk mendapatkan keuntungan uang yang berkelebihan ataupun kekuasaan merupakan perbuatan yang sering dianggap melanggar kode etik profesi;
b.    Pelanggaran terhadap perbuatan pelayanan jasa profesi yang kurang mencerminkan kualitas keahlian yang sulit atau kurang dapat dipertanggung-jawabkan menurut standar maupun kriteria profesional.

ETIKET DAN MORAL

ETIKET

Dua istilah, yaitu etika dan etiket dalam kehidupan sehari-hari kadang-kadang diartikan sama, dipergunakan silih berganti. Kedua istilah tersebut memang hampir sama pengertiannya, tetapi tidak sama dalam hal titik berat penerapan atau pelaksanaannya, yang satu lebih luas dari pada yang alin.
Istilah etiket berasal dari kata Prancis etiquette, yang berarti kartu undangan, yang lazim dipakai oleh raja-raja Prancis apabila mengadakan pesta. Dalam perkembangan selanjutnya, istilah etiket berubah bukan lagi berarti kartu undangan yang dipakai raja-raja dalam mengadakan pesta. Dewasa ini istilah etiket lebih menitikberatkan pada cara-cara berbicara yang sopan, cara berpakaian, cara menerima tamu dirumah maupun di kantor dan sopan santun lainnya. Jadi, etiket adalah aturan sopan santun dalam pergaulan.
Dalam pergaulan hidup, etiket merupakan tata cara dan tata krama yang baik dalam menggunakan bahasa maupun dalam tingkah laku. Etiket merupakan sekumpulan peraturan-peraturan kesopanan yang tidak tertulis, namun sangat penting untuk diketahui oleh setiap orang yang ingin mencapai sukses dalam perjuangan hidup yang penuh dengan persaingan.
Etiket juga merupakan aturan-aturan konvensional melalui tingkah laku individual dalam masyarakat beradab, merupakan tatacara formal atau tata krama lahiriah untuk mengatur relasi antarpribadi, sesuai dengan status social masing-masing individu. Etiket didukung oleh berbagai macam nilai, antara lain;
1.      nilai-nilai kepentingan  umum
2.      nilai-nilai kehjujuran, keterbukaan dan kebaikan
3.      nilai-nilai kesejahteraan
4.      nilai-nilai kesopanan, harga-menghargai
5.      nilai diskresi (discretion: pertimbangan) penuh piker. Mampu membedakan sesuatu yang patut dirahasiakan dan boleh dikatakan atau tidak dirahasiakan.
Diatas dikatakan bahwa etiket merupakan kumpulan cara dan sifat perbuatan yang lebnih bersifat jasmaniah atau lahiriah saja. Etiket juga sering disebut tata krama, yakni kebiasaan sopan santun yang disepakati dalam lingkungan pergaulan antarmanusia setempat. Tata berarti adat, aturan, norma, peraturan. Sedangkan krama berarti sopan santun, kebiasaan sopan santun atau tata sopan santun. Sedangkan etika menunjukkan seluruh sikap manusia yang bersikap jasmaniah maupun yang bersikap rohaniah. Kesadaran manusia terhadap kesadaran baik buruk disebut kesadaran etis atau kesadaran moral.
Beberapa definisi Etiket adalah sebagai berikut:
1.      Etiket adalah kumpulan tata cara dan sikap yang baik dalam pergaulan antarmanusia yang beradab.
2.      Etiket adalah tata krama, sopan santun atau aturan-aturan yang disetujui oleh masyarakat tertentu dan menjadi norma serta anutan dalam bertingkah laku.
3.      Etiket adalah tata peraturan pergaulan yang disetujui oleh masyarakat terten tu dan menjadi norma dan anutan dalam bertingkah laku anggota masyarakat.
Dari ketiga definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa pengertian dari etiket adalah tata aturan pergaulan yang disetujui oleh masyarakat tertentu dan menjadi norma serta anutan dalam bertingkahlaku pada anggota masyarakat tersebut.
Dalam buku “Bahan Diskusi Customer Service Group (CSG) dan Allround Teller (ART)” yang diterbitkan oleh Urusan Operasional KAntor Pusat BRI, menjelaskan bahwa: “etiket adalah ketentuan tidak tertulis yang mengatur tindak dan gerak manusia yang berkaitan dengan:
a.       sikap dan perilaku
yaitu bagaimana anda bersikap dan berperilaku dalam menghadapi suatu situasi.
b.      ekspresi wajah
yaitu bagaimana raut muka yang harus anda tampilkan dalam menghadapi suatu situasi, misalnya dalam melayani tamu.
c.       Penampilan
yaitu sopan santun mengenai cara anda menampilkan diri, misalnya: cara duduk, cara berdiri adalah wajar dan tidak dibuat-buat dan sebagainya.
d.      cara berpakaian
yaitu cara mengatur tentang sopan santun anda dalam mengenakan pakaian, baik menyangkut gaya pakaian, tata warna, keserasian model yang tidak menyolok dan lain-lain.
e.       cara berbicara
yaitu tata cara/sopan santun anda dalam berbicara caik secara langsung maupun tidak langsung.
f.        gerak-gerik
yaitu sopan santun dalam gerak-gerik badan dalam berbicara secara langsung berhadapan dengan tamu.

PERBEDAAN ETIKET DAN ETIKA

Dari uraian diatas, mengenai perbedaan etika dan etiket, dapat disimpulkan sebagai berikut:
ETIKET ETIKA
CARA Sekretaris dalam melayani tamunya harus bersikap sopan dan ramah, menunjukkan muka yang manis. Jika hal ini tidak dipatuhi, maka sekretaris dianggap telah melanggar etiket. NIAT Sekretaris yang memberikan data dengan sebenar-benarnya, tetapi dilaksanakan dengan muka cemberut, maka sekretaris tersebut tidak melanggar etika, tetapi melanggar etiket.
FORMALITAS Sekretaris harus berpakaian rapi   dan sopan. Ia dianggap melanggar etiket bila melayani tamu dengan memakai baju singlet atau memakai sandal. NURANI Sekretaris yang melakukan perbuatan tidak jujur, walaupun pakaian rapi namun etika diabaikan.
RELATIF Bila anda diundang oleh atasan anda untuk makan bersama, maka harus menggunakan sendok. Tetapi bila dilakukan dengan santai, maka aturan tersebut tidak berlaku. MUTLAK Ketentuan yang mengatakan jangan melakukan manipulasi dan mempermainkan data, sifatnya mutlak dimana saja, kapan saja, dan bagi siapa saja.
LAHIRIAH Hanya terlihat wujud nyata dan penampilan. Contoh: cara berbicara. BATHINIAH Menyangkut sifat batin dan hati nurani. Contoh; sifat jujur, dll.

Dari uraian perbedaan etika dan etiket tersebut, jelaslah bahwa etika adalah yang utama dan mendasar untuk membentuk sikap dan perilaku untuk selanjutnya apabila disukung oleh pengalaman etiket yang baik, maka sikap dan perilaku tersebut akan sempurna.
Apabila telah mempunyai etika yang baik tetapi tidak didukung oleh etiket yang baik pula, maka kita akan gagal karena secara lahiriah kita kurang disenangi, dihormati atau dihargai oleh orang lain. Akan tetapi sebaliknya, apabila kita hanya mengamalkan etiket yang baik tanpa didukung dengan etika, mka dalam jangka waktu yang pendek kita akan tampak berhasil, karena kita telah berhasil memanipulasi nurani, batin kita dengan penampilan lahiriah yang meyakinkan, sehingga kita akan dihargai, dihormati, dan disenangi. Agar kita dapat dihargai dan disenagi orang lain sepanjang masa, maka kita harus dapat mengamalkan secara bersama-sama antara etika dan etiket.

MANFAAT BERETIKET

Manfaat beretiket yakni menjalin hubungan yang baik dengan tamu. Bila kita telah menerapkan etiket dalam melayani tamu, maka tamu akan merasa dirinya diperhatikan dan dihargai. Dengan demikian akan terjalin rasa saling menghargai dan hubungan baik pun akan terbina, antara lain:
1.      Memupuk persahabatan, agar kita diterima dalam pergaulan.
2.      Untuk menyenangkan serta memuaskan orang lain.
3.      Untuk tidak menyinggung dan menyakiti hati orang lain.
4.      Untuk membina dan menjaga hubungan baik.
5.      Membujuk serta mempertahankan klien lama.

MORAL

Moral merupakan pengetahuan yang menyangkut budi pekerti manusia yang beradab. Moral juga berarti ajaran yang baik dan buruk perbuatan dan kelakuan (akhlak). Moralisasi, berarti uraian (pandangan, ajaran) tentang perbuatan dan kelakuan yang baik. Demoralisasi, berarti kerusakan moral.
Menurut asal katanya “moral” dari kata mores dari bahasa Latin, kemudian diterjemahkan menjadi “aturan kesusilaan”. Dalam bahasa sehari-hari, yang dimaksud dengan kesusilaan bukan mores, tetapi petunjuk-petunjuk untuk kehidupan sopan santun dan tidak cabul. Jadi, moral adalah aturan kesusilaan, yang meliputi semua norma kelakuan, perbuatan tingkah laku yang baik. Kata susila berasal dari bahasa Sansekerta, su artinya “lebih baik”, sila berarti “dasar-dasar”, prinsip-prinsip atau peraturan-peraturan hidup. Jadi susila berarti peraturan-peraturan hidup yang lebih baik.
Pengertian moral dibedakan dengan pengertian kelaziman, meskipun dalam praktek kehidupan sehari-hari kedua pengertian itu tidak jelas batas-batasnya. Kelaziman adalah kebiasaan yang baik tanpa pikiran panjang dianggap baik, layak, sopan santun, tata krama, dsb. Jadi, kelaziman itu merupakan norma-norma yang diikuti tanpa berpikir panjang dianggap baik, yang berdasarkan kebiasaan atau tradisi.
Moral juga dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu:
1.      Moral murni, yaitu moral yang terdapat pada setiap manusia, sebagai suatu pengejawantahan dari pancaran Ilahi. Moral murni disebut juga hati nurani.
2.      Moral terapan, adalah moral yang didapat dari ajaran pelbagai ajaran filosofis, agama, adat, yang menguasai pemutaran manusia.
Setelah kita mengetahui tentang etika dan moral, bagaimanakah hubungan antara etika dan moral tersebut?
Moral adalah kepahaman atau pengertian mengenai hal yang baik dan hal yang tidak baik. Sedangkan etika adalah tingkah laku manusia, baik mental maupun fisik mengenai hal-hal yang sesuai dengan moral itu.
Etika adalah penyelidikan filosofis mengenai kewajiban manusia serta hal yang baik dan yang tidak baik. Bidang inilah yang selanjutnya disebut bidang moral.
Objek etika adalah pernyataan-pernyataan moral. Oleh karena itu, etika bisa juga dikatakan  sebagai filsafat tentang bidang moral. Etika tidak mempersoalkan keadaan manusia, melainkan bagaimana manusia harus bertindak.

FAKTOR PENENTU MORALITAS

Sumaryono (1995) mengemukakan tiga factor penentu moralitas perbuatan manusia, yaitu:
1.      Motivasi
2.      Tujuan akhir
3.      Lingkungan perbuatan
Perbuatan manusia dikatakan baik apabila motivasi, tujuan akhir dan lingkungannya juga baik. Apabila salah satu factor penentu itu tidak baik, maka keseluruhan perbuatan manusia menjadi tidak baik.
Motivasi adalah hal yang diinginkan para pelaku perbuatan dengan maksud untuk mencapai sasaran yang hendak dituju. Jadi, motivasi itu dikehendaki secara sadar, sehingga menentukan kadar moralitas perbuatan. Sebagai contoh ialah kasus pembunuhan dalam keluarga:
-         yang diinginkan pembunuh adalah matinya pemilik harta yang berstatus sebagai pewaris
-         Sasaran  yang hendak dicapai adalah penguasa harta warisan
-         Moralitas perbuatan adalah salah dan jahat
Tujuan akhir (sasaran) adalah diwujudkannya perbuatan yang dikehendakinya secara bebas. Moralitas perbuatan ada dalam kehendak. Perbuatan itu menjadi objek perhatian kehendak, artinya memang dikehendaki oleh pelakunya. Sebagai contoh, ialah kasus dalam pembunuhan keluarga yang dikemukakan diatas:
-         perbuatan yang dikehendaki dengan bebas (tanpa paksaan) adalah membunuh.
-         diwujudkannya perbuatan tersebut terlihat pada akibatnya yang diinginkan pelaku, yaitu matinya pemilik harta (pewaris)
-         moralitas perbuatan adalah kehendak bebas melakukan perbuatan jahat dan salah.
Lingkungan perbuatan adalah segala sesuatu yang secara aksidental mengelilingi atau mewarnai perbuatan. Termasuk dalam pengertian lingkungan perbuatan adalah:
-         manusia yang terlihat
-         kualiitas dan kuantitas perbuatan
-         cara, waktu, tempat dilakukannya perbuatan
-         frekuensi perbuatan
Hal-hal ini dapat diperhitungkan sebelumnya atau dapat dikehendaki ada pada perbuatan yang dilakukan secara sadar. Lingkungan ini menentukan kadar moralitas perbuatan yaitu baik atau jahat, benar atau salah.

MORALITAS SEBAGAI NORMA

Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, moralitas adalah kualitas perbuatan manusiawi, sehingga perbuatan dikatakan baik atau buruk, benar atau salah. Penentuan baik atau buruk, benar atau salah tentunya berdasarkan norma sebagai ukuran. Sumaryono (1995) mengklasifikasikan moralitas menjadi dua golongan, yaitu:
1.      Moralitas objektif
Moralitas objektif adalah moralitas yang terlihat pada perbuatan sebagaimana adanya, terlepas dari bentuk modifikasi kehendak bebas pelakunya. Moralitas ini dinyatakan dari semua kondisi subjektif khusus pelakunya. Misalnya, kondisi emosional yang mungkinmenyebabkan pelakunya lepas control. Apakah perbuatan itu memang dikehendaki atau tidak. Moralitas objektif sebagai norama berhubungan dengan semua perbuatan yang hakekatnya baik atau jahat, benar atau salah. Misalnya:
-         menolong sesama manusia adalah perbuatan baik
-         mencuri, memperkosa, membunuh adalah perbuatan jahat
Tetapi pada situasi khusus, mencuri atau membunuh adalah perbuatan yang dapat dibenarkan jika untuk mempertahankan hidup atau membela diri. Jadi moralitasnya terletak pada upaya untuk mempertahankan hidup atau membela diri (hak utnuk hidup adalah hak asasi).
2.      Moralitas subjektif
Moralitas subjektif adalah moralitas yang melihat perbuatan dipengaruhi oleh pengetahuah dan perhatian pelakunya, latar belakang, stabilitas emosional, dan perlakuan personal lainnya. Moralitas ini mempertanyakan apakah perbuatan itu sesuai atau tidak denga suara hati nurani pelakunya. Moralitas subjektif sebagai norma berhebungan dengan semua perbuatan yang diwarnai nait pelakunya, niat baik atau niat buruk. Dalam musibah kebakaran misalnya, banyak orang membantu menyelamatkan harta benda korban, ini adalah niat baik. Tetapi jika tujuan akhirnya adalah mencuri harta benda karena tak ada yang melihat, maka perbuatan tersebut adalah jahat. Jadi, moralitasnya terletak pada niat pelaku.
Moralitas dapat juga instrinsik atau ekstrinsik. Moralitas instrinsik menentukn perbuatan itu benar atau salah berdasarkan hakekatnya, terlepas dari pengaruh hokum positif. Artinya, penentuan benar atau salah perbuatan tidak tergantung pada perintah atau larangan hokum positif. Misalnya:
-         gotong royong membersihkan lingkungan tempat tinggal
-         jangan menyusahkan orang lain
-         berikanlah yang terbaik
Walupun Undang-undang tidak mengatur perbuatan-perbuatan tersebut secara instrinsik menurut hakekatnya adalah baik dan benar.
Moralitas ekstrinsik menentukan perbuatan itu benar atau salah sesuai dengan sifatnya sebagai perintah atau larangan dalam bentuk hokum positif. Misalnya:
-         larangan menggugurkan kandungan
-         wajib melaporkan mufakat jahat
Perbuatan-perbuatan itu diatur oleh Undang-undang (KUHP). Jika ada yang menggugurkan kandungan atau ada mufakat jahat berarti itu perbuatan salah.
Pada zaman modern muali muncul perbuatan yang berkenaan dengan moralitas, yang tadinya dilarang sekarang malah dibenarkan. Contohnya:
-         Euthanasia untuk menghindarkan penderitaan berkepanjangan.
-         Aborsi untuk menyelamatkan ibu yang hamil.
-         Menyewa rahim wanita lain untuk membesarkan janin bayi tabung.
Persoalan moralitas hanya relevan apabila dikaitkan dengan manusia seutuhnya. Menurut Driyarkara (1969), manusia seutuhnya adalah manusia yang memiliki nilai pribadi, kesadaran diri dan dapat menentukan dirinya dilihat dari setiap aspek kemanusiaan. Tidak semau perbuatan manusia dapat dikategorikan dalam perbuatan moral. Perbuatan itu bernilai moral apabila didalamnya terkandung kesadaran dan kebebasan kehendak pelakunya. Kesadaran adalah suara hati dan kebebasan kehendak berdasarkan kesadaran.

Etika, Estetika & Logika

Etika

Etika disebut juga filsafat moral adalah cabang filsafat yang berbicara tentang praxis (tindakan) manusia. Etika tidak mempersoalkan keadaan manusia, melainkan mempersoalkan bagaimana manusia harus bertindak. Tindakan manusia ini ditentukan oleh bermacam-macam norma.

Norma ini masih dibagi lagi menjadi norma hukum, norma moral, norma agama  dan norma sopan santun. Norma hukum berasal dari hukum dan perundang- undangan, norma agama berasal dari agama sedangkan norma moral berasal dari suara batin. Norma sopan santun  berasal dari  kehidupan sehari-hari sedangkan norma moral berasal dari etika.

Manusia merupakan makhluk yang bersifat impulsif, refleksif, pengguna simbol, dan menyalurkan rasa puas dan rasa kecewanya melalui agen. Manusia dalam penyaluran perasaannya itu cenderung menyesuaikan dan mengakomodasikan dirinya dengan pola-pola kehidupan, nilai, dan kebiasaan manusia lain di dalam masyarakat (Solatun, 2004:50).

Penyesuaian terhadap kebiasaan orang lain dalam konteks politik, acapkali dikonotasikan sebagai diwarnai dengan pertarungan antar kekuatan kepentingan dan praktik menghalalkan segala cara. Praksis di bidang politik yang demikian itu, namun demikian masih menyisakan adanya kerinduan akan keteraturan dan kedamaian hidup sehingga manusia tersadar akan pentingnyan legitimasi dan persetujuan masyarakat atas tindakan sosial yang melambangkan pembenaran normatif -secara moral, agama, dan kebiasaan- (Haryatmoko, 2003:1). Proposal Rene Descartes tentang ilmu tingkah laku, prinsip-prinsip etika John Locke, dan juga penegasan David Hume menunjuk pada bahwa:
Ada kepatutan dan ketidakpatutan eternal sesuatu, yang disadarai (dirasakan dan dipikirkan) oleh setiap makhluk rasional, bahwa ukuran (tuntunan:penulis) yang kekal abadi tentang benar dan salah menjadi kewajiban bagi semua ummat manusia, … bahwa moralitas, seperti halnya kebenaran, tampak jelas oleh ide-ide (pikiran manusia: penulis), dan dengan pemaparan dan pembandingan oleh ide-ide itu. …
Pikiran menilai salah satu persoalan apakah fakta atau relasi. Perhatikanlah, misalnya, sebuah penilaian moral yang mengutuk perilaku tidak tahu berterima kasih sebagai sebuah kejahatan. “Mana faktanya yang kita sebut sebagai kejahatan di dalam hal ini?” Faktanya adalah bahwa kebaikan yang dilakukan di satu pihak dan dibalas dengan keburukan di pihak lain (Jones, 1969:337) .

Descartes, Locke, dan Hume dengan pernyataannya tersebut di atas hendak mengemukakan bahwa etika atau budi pekerti yang baik yang berkenaan dengan pentingnya mempertimbangkan kepatutan di dalam setiap tingkah laku, adalah bahkan wajib di dalam hal-hal yang sangat abstrak. Pengkonstruksian realitas sosial melalui dan menggunakan bahasa merupakan praksis sosiokultural yang bukan saja tidak abstrak tetapi sangat nyata. Etika dengan demikian menjadi melekat pada setiap praksis pengkonstruksian realitas baik melalui atau tanpa media massa.
Permasalahannya adalah bahwa setiap sudut pandang yang dipergunakan orang terhadap segala sesuatu memiliki sudut pandang etikanya sendiri-sendiri. Etika pengkonstruksian oleh karenanya sekurang-kurangnya mencakup etika dari sudut pandang alamiah, universal, sosiokultural, dan ilmiah atau kritis.

Etika Alamiah
Menunjukkan fakta tentang sesuatu dan mengevaluasinya telah dikenal secara luas sebagai dua hal berbeda yang saling berhadapan.
Telah terbukti bahwa agar seseorang dapat melakukan sutau pekerjaan yang berikutnya (katakanlah tahap kedua:penulis) dengan baik, maka seseorang itu harus terlebih dahulu mengerjakan pekerjaan yang mendahuluinya (katakanlah pekerjaan tahap pertama: penulis). Jika seseorang melakukan evaluasi tidak berdasarkan pengetahuan yang kokoh tentang fakta-fakta yang ada, maka ia akan melakukannya dengan tidak benar atau salah. Seseorang harus megetahui seluruh fakta yang relevan sebelum ia melakukan penilaian moral (yang berkenaan dengan fakta-fakta itu: penulis). Dari sini tampak jelas bahwa membangun serta menunjukkan fakta-fakta dan membuat penilaian moral terhadap fakta-fakta itu merupakan dua pekerjaan yang berbeda sama sekali (Edwards, 1972:69).
Para filosof utilitarian seperti Jeremy Bentham, John Stuart Mill, Herbert Spencer dan bahkan juga John Dewey dalam hal ini memandang bahwa suatu tindakan itu dapat dinilai etis atau tidak etis berdasarkan seberapa besar tindakan itu mendatangkan suatu kemanfaatan alamiah seperti kesenangan, kepuasan, dan kebaikan masyarakat.
Media massa Amerika Serikat misalnya, memandang bahwa salah asuh terhadap anak sebagai akibat dari anak-anak dibesarkan di dalam keluarga yang kedua atau salah satu orangtuanya pecandu alkohol adalah tidak etis. Terence Oliver namun demikian, memandang bahwa tidak perlu (baca:tidak etis) jika kemudian wartawan menghabiskan berbulan-bulan untuk mempublikasikannya, karena yang menjadi persoalan prioritas adalah seberapa besar kekuatan kita untuk mengentaskannya. Beda pendapat antara para wartawan dengan Oliver semata-mata merupakan implikasi dari cara pandang etika naturalistik masing-masing .
Paparan di dalam journal tersebut mengingatkan kita tentang perdebatan etika berkenaan dengan peliputan kasus kecelakaan Diana Spencer (Putri Inggeris) oleh wartawan foto yang mengejar dan merekam kejadian itu. Perdebatan terfokus pada isu “menolong orang yang kecelakaan dahulu atau merekamnya untuk keperluan tugas jurnalistiknya?”

Etika Objektif
Pengertian kata atau istilah objektif, sebagaimana istilah subjektif itu samar dan jauh dari kejelasan. Istilah etika objektif, namun demikian kita gunakan dengan maksud untuk menunjuk setiap kalimat etika yang dikemukakan secara bebas tidak dimuati suatu kepentingan apapun dari orang yang mengemukakannya (Edwards, 1972:70).
Objektifisme-subjektifisme. Kedua istilah tersebut telah diperguanakan secara samar-samar, membingunkan, dan dalam pengertian yang jauh berbeda dari apa yang kita pikirkan. Kita mengemukakan penggunaan yang pas, dikarenakan menurut suatu teori yang disebut subjektifis jika dan hanya jika, beberapa pernyataan etik menyatakan atau menunjukkan bahwa seseorang dalam suatu kondisi tertentu hendak bersikap khusus yang tertentu terhadap sesuatu itu. Sebuah teori dapat dikatakan sebagai objektifis jika tidak mengikutsertakan hal ini (Brandt, 1959:153).
Rentang antara subjektifisme dan ojektifisme, misalnya dapat kita lihat melalui contoh berikut ini:
Katakanlah kita secara sukarela menolong mengantar nenek kita dengan mengendarai mobil ke rumah yang berada di pojok lain kota yang sama dengan tempat kita tinggal. Di tengah jalan kita mengendarai mobil dengan sangat baik, namun tiba-tiba seorang yang mengendarai mobil lain dalam keadaan mabuk menabrak mobil yang kita kendarai. Hasilnya, nenek kita terjepit dan kakinya patah serta harus dioperasi di rumah sakit. Patutkah jika kita mengatakan bahwa itu semua karena salah kita, atau orang lain mengatakan demikian?(Hospers, 1982:142).
Siapapun yang menyatakan bahwa kita yang bersalah berarti menyatakan sesuatu secara subjektif; sebaliknya pernyataan yang paling patut tetapi objektif adalah jika berbunyi:” kecelakaan itu terjadi sebagai akibat dari pengemudi mabuk yang menabrak mobil kita”. Sekiranya kita hendak menunjukkan rasa dan kebesaran jiwa kita sehingga kita menyatakan bahwa itu semua salah kita, maka kita telah menunjukkan sikap yang patut menurut budaya kita (Indonesia) tetapi bersifat subjektif.

Etika Universal
Dua gejala umum kita kenali di dalam masyarakat yaitu pertama, bentuk-bentuk pranata sosiokultural tertentu terdapat di dalam setiap masyarakat manusia seperti : keluarga berkewajiban mendidik dan membesarkan anak-anak mereka. Kedua, adanya kesamaan prinsip-prinsip dasar dari sistem nilai kelompok-kelompok masyarakat yang berbeda ( Brandt, 1959:286). Profesor Kluckhohn, misalnya mengemukakan bahwa:
Setiap budaya memiliki konsep tentang pembunuhan, membedakannya dari hukuman mati, pembunuhan di dalam peperangan, dan berbeda dari jenis pembunuhan lainnya. Pandangan tentang perzinaan dan pengaturan hubungan seksual lainnya, dan larangan dusta di dalam situasi yang tertentu, tentang gantirugi dan imbal balik, dan hak dan kewajiban antara anak dan orangtua, kesemua konsep-konsep moral tersebut bersifat universal .
Brandt dengan pernyataan dan kutipannya Dari Kluckhohn tersebut hendak mengemukakan bahwa konsep-konsep moral yang bersifat universal itu menunjukkan adanya etika yang juga bersifat universal. Hal ini dimungkinkan oleh karena manusia merupakan homo ethicus dalam arti makhluk yang cenderung bertatakrama (Solatun, 2004:52).
Richard B. Brandt secara lebih rinci memaparkan tentang gejala universal tersebut bahwa,
1. Semua manusia, setidaknya ketika mereka tidak dihadapkan pada tekanan-tekanan yang tidak biasa (luaar biasa), adalah dalam kesepakatan mengenai prinsip-prinsip dasar etika. Pengertiannya adalah bahwa, peesoalan-peersoalan etika dapat diatur secara rasional ; dalam hal ini ketidak sepakatan mengenai etika tidak bersumber dari ketidak sepakatan mengenai prinsip-prisip dasar etika itu sendiri, kita harus beranjak dari kesalahpahaman tentang fakta-fakta non-etika. Dengan demikian, jika kita dapat sampai pada kesepakatan mengenai fakta-faktanon etika melalui pemabahasan dengan metoda ilmiah, maka kita aka memeproleh kesepakatan bulat tentang etika.
2. Premis antropologis yang mengemukakan bahwa ada banyak variasi (ragam-macam) keyakinan tentang tingkah laku yang benar dan salah, dalam masyarkat yang berbeda, telah difahamkan bahwa tingkah laku benar atau salah tidak akan menjadi pengetahuan intuitif.
3. Banyak anggapan sebagai premis yang dirumuskan dari antropologi bahwa, lebih banyak perbedaan pendapat mengenai etika jika dibandingkan dengan perbedaan pendapat mengenai fakta-fakta non-etika. Berdasarkan pandangan ini, dikemukakan sebgai dasar pikiran bahwa pandangan-pandangan mengenai etika pada hakikatnya lebih menyangkut persoalan-persoalan tingkah laku emosional…..
4. Orang-orang, paling tidak ketika mereka dalam keadaan serius, mengemukakan pertanyaan-pertanyaan mengenai etika dengan suatu cara yang umum (seragam) dan menyampaikan hanya satu macam alasan (atau pandang baku) di dalam mempertahankan pranata atau standard etika. Mereka kemudian menganggap bahwa cara mengemukkan pertanyaan pertanyaan mengenai etika ini adalah satu-satunya yang dapat diterima dan benar, atau sesekali dikemukakan bahwa dengan demikian, istilah-istilah etika harus dipandang sebagai suatu yang dapat didefinisikan secara tepat dengan suatu cara, dengan mana jenis standard mengenai alasan yang disampaikan benar-benar merupakan suatu alasan yang konklusif bagi pernyataan mengenai etika yang dikemukakan.
5. Terkadang diyakini bahwa ilmu sosial dapat memberitahu kita bahwasanya kegunaan sisitem moral, nurani dan pembahasan mengenai etika semata-mata sebagai sebuah cara informal kontrol sosial atau untuk menyediakan aturan guna menengahi konflik-konflik kepentingan. Dengan demikian diperoleh tafsiran bahwa norma etika itu benar jika dan hanya jika kesemuannya itu sesuai atau cocok untuk keperluan mencapai tujuan trsebut (Brandt, 1959:86-87).
Terciptanya perdamaian, kesenangan, kenyamanan, dan kebahagiaan merupakan tujuan manusia yang bersifat universal. Oleh karenanya pada setiap komunitas manusia juga dengan sendirinya terdapat standard tentang baik-buruk, patut –tidak patut yang berlaku universal yang dapat menjadi kerangka standard etika universal.

Etika Sosiokultural
Setiap komunikasi insani, hampir dapat dipastikan merupakan komunikasi antar budaya. Hal ini dikarenakan setiap ada dua orang manusia atau lebih selalu memiliki perbedaan budayanya masing-masing meski hanya dalam derajat yang sangat kecil (Deddy Mulayan & Jalaluddin Rakhmatc –editor-,1996:vi).
Pendekatan nilai dalam komunikasi beranggapan bahwa pola-pola komunikasi akan berbeda antara satu penganut nilai budaya dengan lainnya, sebagaimana anggota masing-masing entitas budaya juga berorientasi nilai-nilai dasar kultural yang berbeda . Konstruksi realitas sosial tertentu dan makna yang direpresentasikan dengannya akan sangat bergantung pada konteks kultural, tata makna kultural, dan sistem nilai kultural dasar dari entitas budaya mana pengkonstruksi berasal (Gudykunst, 1983:54). Muatan etika yang melekat di dalam konstruksi tersebut oleh karenanya juga akan sangat bergantung pada sistem budaya pengkonstruksinya. Standard kepatutan di dalam setiap transaksi komunikatif, oleh karenanya akan berragam menurut ragam budaya yang melatarbelakangi komunikator yang terlibat, termasuk pengkonstruksi realitas sosial politik melalui wacana tertulis di dalam opini media massa cetak.

Etika Ilmiah atau Etika Kritis
Kritikisme etik dan etika kritkisme merupakan subjek perhatian yang sangat penting di dalam kajian kritis terhadap setiap fenomena komunikatif.
Kritikisme etika dalam konteks ini ditujukan pada segi-segi moral dari segala sesuatu yang terjadi dan terdapat di dalam teks dan dampak yang mungkin timbul dari teks itu. (Dalam hal ini:penulis) telah terjadi perdebatan seru tentang bagaimana etika memproduksi teks dan peranan yang hendaknya dimainkan oleh etika di dalam kehidupan dunia seni dan media (Berger, 1998:195).
Standard validitas (keabsahan) etika dari suatu pernyataan kritis tentang produksi teks dan dampak yang ditimbulkan daripadanya didasarkan pada prinsip-prinsip metodologi keilmuan. Rumusan metodologis hasil dari proses ini oleh karenanya juga disebut sebagai rumusan etika kritis atau etika ilmiah yang termasuk ke dalam wilayah pembahasan metaetika atau metaethics (Solatun, 2004:62) .
Pengujian (dapat dibaca:penilaian) dengan mempergunakan kerangka metodologis ini lebih ditujukan pada kerangka penilaiannya dan bukan pada objek yang dinilainya. Langkah seperti ini menjadi penting sehubungan dengan kita memerlukan penjelasan tentang derajat kepatutan kerangka pemikiran dibalik produksi pernyataan tekstual. Dua segi yang paling penting untuk diuji dengan menggunakan kerangka metodologis seperti ini adalah konsistensi dan generalitas dari struktur (kerangka) pikir yang melatarbelakangi diproduksinya suatu pernyataan tekstual –dan juga yang non-tekstual- (Solatun, 2004:63) .

                                                                         Estetika
Pengendalian aspek-aspek estetika komoditas, termasuk di dalamnya komoditas informasi berbasis media massa cetak, telah menjadi bagian inti dari kreatifitas seni populer, terutama seni komoditas yang merupakan bagian penting dari industri yang dikelola dan dikendalikan oleh para kapitalis.
Missinya (pengendalian segi-segi estetika tersebut ) adalah untuk menjual (barang-barang) kebutuhan, missi jangka panjangnya adalah untuk mempertahankan sistem kelas. …
Wolfgang Fritz Haug, seorang Marxis Jerman telah mengembangkan sebuah konsep yang relevan dengan diskusi masalah ini. Haug mengemukakan bahwa mereka yang megendalikan industri di dalam masyarakat kapitalis, telah mempelajari untuk melarutkan seksualitas ke dalam (segala:penulis) komoditas dan kemudian (dengan cara itu) memperoleh (peluang) pegendalian yang lebih besar dan lebih besar lagi terhadap segi-segi kehidupan manusia yang merupakan kepentingan utama untuk mengatur kelas (sosial, mencakup agar ) orang-orang membeli barang-barang dan jasa (Berger, 1998:51).
Peranan permainan pemanfaatan estetika bahkan telah menjadi bagian tak terpisahkan dari setiap propaganda politik. Konstruksi realitas politik Umat Islam misalnya, dibuat melalui film-film tentang Islam buatan bangsa dan orang-orang non-Muslim yang dengan sendirinya tidak mengetahui tentang Islam dari perspektif Islam. Ali Khameney mensinyalir hal ini dalam pernyataannya bahwa,
Mereka (orang-orang yang memusuhi Islam) sekarang mampu memproduksi film-film bernuansa anti Islam dan menyebarluaskannya lewat jaringan internasional. Akibatnya siapa saja menonton film berisikan propaganda anti-Islam itu, padahal dirinya tak mengetahui sedikit pun soal Islam, niscaya akan mengambil kesan dan gambaran negatif tentang Islam (Khameney, terjemahan Thalib Anis, 2005: 128).
Estetisme yang merupakan cara berpikir filosofis Immanuel Kant untuk menghindarkan pemikiran dan tindakan politik dari orientasi material dan duniawi, telah bergeser dan digeser untuk tujuan-tujuan yang sebaliknya (Williams, terjemahan Muhammad Hardani, 2003:302) . Goldmann, meski memandang pemikiran Kant sebagai sebatas pandangan atas penampilan luar masyarakat manusia, menilai bahwa ada hal positif dari dalam pandangan estetisme Kant yang menganjurkan agar memperlakukan manusia sebagai tujuan dan bukan sebagai alat atau faktor produksi .
Pandangan Kant dan dukungan dari Gldmann tersebut di muka menunjukkan bahwa konstruksi realitas sosial, termasuk realitas sosial politik, terlebih untuk konsumsi pasar media massa berupa informasi tekstual, hendaknya mempertimbangkan segi-segi estetika meski tidak berarti harus menjadikannya bagian dari estetisme. Segi-segi estetika bahasa -sebagai kemasan pesan tekstual- sekurang-kurangnya mencakup: estetika denotatif dan estetika konotatif (Yasraf Amir Piliang, 2003:223).
Denotasi dan konotasi merupakan dua proses terpenting dari penggunaan bahasa verbal (tertulis dan lisan). Denotasi, penampakan, atau penunjukan merupakan tindakan penggunaan bahasa yang mencerminkan kebiasaan seluruh manusia di dalam upayanya menciptakan dan menemukan tanda-tanda yang menjadikannya mewakili sesuatu yang lain . Tanda di dalam kehidupan berbahasa dikemukakan dalam bentuk ikon, indeks, dan sibol-simbol.
Proses menciptakan dan menafsirkan simbol-simbol yang lazim disebut dengan signifikasi, merupakan hal yang jauh lebih luas dari pada sekedar bahasa. Sarjana seperti Ferdinand de Saussure menekankan bahwa, kajian makna linguistik hanya merupakan bagian dari kajian yang lebih umum terhadap penggunaan sistem simbol ini, dan kajian umum ini disebut dengan semiotika. Para ahli semiotika meneliti jenis-jenis/ bentuk-bentuk relasi antara tanda dan objek yang diwakilinya; yang dalam istilah Saussure “antara signifier (penanda)” dengan “ signified (yang ditandai)” (Saeed, 1997:5).
Penanda bahasa bersifat struktural dan mengacu pada sifat-sifat keinderaan dalam bentuk-bentuk denotasi dan penampakan objek. Aspek konotatif dari bentuk denotatif tersebut berupa konsep objek bersifat kultural fungsional dan melekat di dalamnya sebagai suatu yang mengacu pada gagasan, citraan, pengalaman, dan nilai-nilai objek itu (Yasraf Amir Pliang, 2003:223) . Di dalam pandangan strukturalis, kata dianggap memperoleh signifikansinya dari sebuah kombinasi antara denotasinya (rujukannya) dan pengertian (di dalamnya). Contoh paling sederhana adalah ketika seseorang berkata:”Saya melihat ibu saya beberapa saat lalu”, maka pendengar akan memperoleh pengertian bahwa si pembicara melihat seorang perempuan. Ibu dalam kalimat si pembicara merupakan salah satu jenis denotasi yang objektif. Adapun konotasi yang dibangun dengan kata ibu saya adalah seorang perempuan yang melahirkan si pembicara dari kandungannya (Saeed, 1997:292). Penanda denotatif tersebut akan memiliki konotasi yang berbeda jika diucapkan dalam konteks yang berbeda, misalnya kata “ibu” tidak lagi digabung dengan kata “saya” tetapi digabung dengan kata “pertiwi”, atau kata “guru”. Makna konotatif yang dituju oleh dua kalimat terakhir adalah “tanah tumpah darah (homeland) dan seorang perempuan yang bekerja sebagai pengajar si pembicara di sebuah lembaga pendidikan atau sekolah.
Persoalan penting yang mengemuka dari dalam suatu proses denotasi adalah bahwa denotasi merupakan proses penggunaan bahasa sebagai pengkemas makna. Keefektifan maksud dan tujuan pengkemasan sangat bergantung padaseberapa efektif kita menampilkan segi-segi estetik ke dalam kemasan itu. Yasraf misalnya mengemukakan bahwa,
Dalam upaya pemuatan makna tertentu pada objek seni, setidak-tidaknya ada tiga aspek yang harus diperhatikan, yaitu 1) kode, yaitu cara tertentu memilih, menyusun, dan mengkombinasikan tanda-tanda (apakah menurut relasi penanda/petanda, penanda/penanda, atau penanda par-excellence), 2) makna yang diharapkan (bisa konvensional, kontradiktif, atau ironis), dan 3) ekspresi atau idiom, yakni cara elemen-elemen bentuk dan tanda dikombinasikan sehingga menghasilkan totalitas bentuk, baik yang berupa elemen linguistik maupun non linguistik (Yasraf Amir Piliang, 2003:224).
Yasraf menggambarkan proses pemuatan estetika ke dalam kode dan makna bahasa secara skematik sebagai berikut:
Model proses estetik-semiotik Yasraf tersebut di atas dapat dijadikan sebagai peta abrogasi dan apropriasi dalam konteks dekolonisasi konstruktif. Abrograsi dan apropriasi merujuk pada pengertian:
penolakan terhadap kategori-kategori kebudayaan imperial, estetiknya, standard normatifnya yang dibuat-buat atau standard penggunaan kebenarannya dan asumsinya tentang makna tradisional dan fixed yang terdapat dalam kata. …
Apropriasi merupakan proses penyerapan dan pembentukan ulang bahasa agar dapat menanggung beban pengalaman kultural seseorang (Ashcroft, Griffiths, &Tiffin, terjemahan Fati Soewandi dan Agus Mokamat, 2003:42)
Peta yang sama, dengan demikian juga dapat dipergunakan oleh pihak-pihak yang berkepentingan sebaliknya untuk mengkonstruksi realitas dengan motif-motif denaturalistik-kolonialistik. Kesadaran estetik di dalam mempergunakan bahasa untuk keperluan mengkonstruksi realitas menjadi sangat penting dan menentukan bentuk relasi sosiotekstual yang menggambarkan “siapa mendustai siapa, siapa menguasai siapa, atau siapa dijajah oleh siapa”.
Konsep kolonisasi versus dekolonisasi dalam pada ini memperoleh relevansinya dalam konteks perang teks antara masyarakat teks modernis dengan masyarakat teks lainnya yang menganggap bahwa modernisme terlahir dengan cacat dan ekses bawaannya yang telah mengakibatkan sakit sosiokultural dunia yang hiperakut (hyperacute) . Yudhi Haryono dengan mengutip pandangan Nasir Hamid Abu Zaid melukiskan bahwa masyarakat teks ,
Lahir, hidup, berjuang, dan mati untuk teks. Masyarakat teks ini mendesain dirinya dalam dua tipe. Pertama, sebagai paradigma pemikiran dan penghayatan. Kedua, sebagai metode analisa-kritik-solusi kehidupan. Keduanya adalah epistem yang dihadirkan sebagai langkah-langkah terorganisir demi penyelamatan dari modernitas (M. Yudhie Haryono, 1005:27).
Intertekstualitas dalam arti sebenarnya maupun dalam arti yang lebih spesifik dalam hal ini memperoleh pembenaran teoretiknya. Pembenaran yang sama juga diperoleh untuk Teori Habitus and Field Pierre Bourdieu, dan konsepsi “Agency-Structure” dari dalam Teori Strukturasi Anthony Giddens.

                                                                             Logika
Pemikiran dan ketertarikan Bertrand Russell untuk menjadikan bahasa filosofis sejelas dan seakurat mungkin adalah semata karena keinginannya untuk memastikan bahwa bahasa yang dipergunakan berfilsafat sesuai dengan fakta yang dialami manusia. Karena kepastian (exactness) merupakan bagian inti dari cara berfikir matematis di dalam kajian matematika yang merupakan cabang dari filsafat logika, maka berfikir secara ketat dengan pengungkapan bahasa yang sesuai dengan fakta yang dialami manusia disebut sebagai berpikir logis (Stumpf, 1987:273).
Komunikasi yang logis akan berpeluang menjadikan pemaknaan pesan yang efektif. Logika di dalam ekspresi komunikatif, namun demikian, lebih berkenaan dengan isi pesan komunikasi. Komunikasi itu sendiri, mencakup dimensi isi dan relasi sekaligus. Dimenasi relasi di dalam komunikasi lebih berhubungan dengan segi-segi etis dan estetis, bagaimana cara pesan dikemas dan disampaikan. Etika dalam konteks komunikasi dimaksudkan sebagai usaha manusia mempergunakan kapasitas kognitifnya untuk memperoleh pertimbangan tentang kepatutan situasional (Habermas, edited by Cooke, 1998: 429).
Memahami pengalaman kritik realitas sosial manusia haruslah mencakup dan menjangkau latar belakang alam kehidupan tersebut sambil pada saat bersamaan melalui refleksi transgresif masuk ke latar depannya.
Pengalaman suatu kehidupan dan konteks pragmatik dari penjelasan tentangnya (yang dialami manusia:penulis) terbentuk atau kita peroleh melalui keterlibatan kita dengan sesuatu itu dan kejadian-kejadian (terkait:penulis); kehidupan kesetiakawanan dan makna dalam konteks historisnya kita peroleh melalui keterlibatan interaktif dengan orang-orang yang kita pergauli, …
Secara ontogenetik , dunia empirik yang kita berurusan dengan keadaan luarnya secara teknis-praktis hanya berjarak sangat tipis dari kehidupan di mana kita berurusan dengan orang lain di dalam masyarakat secara moral. Akhirnya, pengalaman-pengalaman dengan keadaan bathin kita, dengan badan kita, dengan kebutuhan kita, dan dengan perasaan kita, merupakan sesuatu yang tidak secara langsung (kita alami:penulis); Kesemua itu memantul pada pengalaman kehidupan eksternal kita. Manakala pengalaman-pengalaman batin kita kemudian memperoleh kebebasan semacam pengalaman estetik, maka karya seni otonom yang tercipta melibatkan peranan objek (benda-benda) yang telah membuka mata kita, yang mendorong atau menimbulkan cara baru melihat sesuatu, sikap baru terhadap sesuatu, dan moda perilaku baru terhadap sesuatu (Habermas, edited by Cooke, 1998:245-246).
Habermas dengan paparannya tersebut hendak menyatakan bahwa pengalaman estetik bukanlah hasil dari bentuk-bentuk tindakan kehidupan sehari-hari yang didasarkan pada kecakapan kognitif-instrumental dan gagasan-gagasan moral. Hal ini dikarenakan kita tumbuh dan berkembang di dalam proses pembelajaran kehidupan bathin, namun pada saat bersamaan kita terikat dengan fungsi-fungsi bahasa sebagai pembentuk dan penguak dunia kehidupan. Manakala pengalaman itu dapat diberualngkan untuk menghasilkan kesan menyenangkan, memuaskan, aman, nyaman, dan bahagia yang mampu menimbulkan efek terharu dan terpesona, maka ia telah menjadi sebuah pengalaman estetika (AAM Djelantik, 1999:2). Kesan mengharukan dan mempesona ini merupakan aspek pentig dari kemasan pesan di dalam sebuah transaksi komunikatif. Semakin mempesona kemasan pesan, semakin menarik lawan komunikasi kita.

Logika Konstruktif
Logika di dalam konteks konstruksi realitas dalam bagian ini dimaksudkan untuk menunjuk segala langkah prosesual konstruksional yang melibatkan penalaran logis untuk tujuan tercapainya kesesuaian, ketepatan dan keakuratan pengkonstruksian realitas. Konstruksi realitas yang logis akan tercermin pada tidak adanya kesenjangan apalagi perbedaan antara konstruksi realitas dengan realitas yang diwakilinya (Sumarsono, 2004:9). Oleh karena penggunaan logika dimaksudkan untuk mencapai kepastian (exactness) dari setiap simpulan pemikiran dan penalarannya, maka konstruksi yang diawali dengan penalaran seperti ini akan dapat dikategorikan sebagai konstruksi yang logis.
Permasalahannya kemudian adalah bahwa setiap moda berpikir mempunyai rumusan logikanya masing-masing. Sebagian filosof misalnya lebih menyukai cara-cara berpikir kontingensial, sebagian lainnya mungkin memilih mempergunakan model penalaran sentensial, elementer, dan bahakan silogistis. Kesemua moda penalaran di dalam pemikiran mereka itu pun dengan demikian akan memiliki model dan kerangka logikanya masing-masing. Hal ini sesuai dengan pandangan kritis tentang realitas bahwa, manusia hanya mampu mengkonstruksi realitas dari sudut pandangnya masing-masing. Hal ini misalnya dikemukakan Lyotard bahwa mata manusia tidak sanggup menguasai dunia, dan pandangan mata manusia selalu bersifat parsial (Cavallaro, terjemahan Laily Rahmawati, 2001:76).

Logika kontingensial
Makna yang logis dari suatu konstruksi realitas sosial harus secara internal menyatu di dalam realitas terkonstruksi itu sendiri.
Integrasi logika ini diakui (kebenarannya:penulis) bukan saja pada interrelasi elemen-elemen kultural yang tertentu saja yang kita temui di dalam bentuk proposisi verbal, seperti pernyataan tertulis, akan tetapi berlaku untuk elemen-elemen kultural nonverbal seperti halnya acara-acara dan musik, dan juga bahkan berlaku untuk relasi antar elemen kultural dari kelas-kelas yang berbeda-beda seperti sebuah organisasi keluarga spesifik, sebuah gaya budaya/kebudayaan, type kepribadian spesifik, dan aturan dan ketentuan hukum legal tertentu (Barnes, 1948:896-897).
Pitirim Alexandrovitch Sorokin dengan pernyataan ini hendak menunjukkan bahwa, meski tidak seperti integrasi-kausal-fungsional di dalam mana seluruh bagian fungsional dari setiap elemen konstruksi realitas sosiokultural saling berpautan dan saling bergantung satu sama lain, tetapi logika dan makna yang logis sebagai elemen konstruksi suatu realitas sosiokultural harus melekat secara internal di dalam realitas yang secara konstruktif diwakilinya itu. Pernyataan ini megandung dan mengarah pada pengertian bahwa, logika yang kokoh adalah prasyarat kontingensial untuk tercapainya penciptaan makna yang tepat dan akurat. Logika yang kokoh tidak terpisahkan oleh kesenjangan antaranya dengan realitas yang ditunjuk untuk dimaknai dan dengan penanda pemaknaan realitas yang dimaksud. Saling ketergantungan adanya antara logika, kemasan logika (bahasa sebagai sistem tanda), dan realitas yang sesungguhnya ada menjadi bersifat kontingensial. Keberfungian elemen kontingensial yang satu mensyaratkan keberadaan dan kehadiran elemen kontingensial yang lain.
Contoh paling sederhana, di dalam budaya Indonesia dikenal pernyataan “tidak akan ada asap kalau tidak ada api.” Pernyataan ini menunjukkan bahwa realitas bernama asap itu hanya akan muncul jika kondisi kontingensial (yang dipersyaratkan) yaitu api terlebih dahulu ada.

Logika sentensial
Logika sentensial membatasi dirinya untuk membahas kalimat-kalimat sederhana yang tertentu, yang tidak terurai secara keselurhan, menggabungkannya dengan kalimat penghubung yang menjadikannya kalimat-kalmat gabungan. Kalimat gabungan itu hanya dipergunakan sebagai alasan, yang validitas dan invaliditasnya sepenuhnya bergantung pada bentuk atau cara bagaimana kalimat-kalimat sederhana itu digabungkan.
Contoh logika sentensial paling sederhana adalah, jika kalmatnya adalah :
• Bapak pergi ke Jakarta atau ke Surabaya
• Bapak tidak pergi ke Jakarta
• Simpulan yang benar adalah : Bapak pergi ke Surabaya.
Kalimat-kalimat penghubung pada penggabungan dua kalimat di dalam logika sentensial adalah: dan, atau, bukan, jika-maka, jika dan hanya jika(Edwards, editor, 1972:14).

Logika silogisme
Silogisme kategoris merupakan sebuah penafsiran atas satu proposisi kategoris sebagai simpulan atas dua proposisi yang lainnya yang merupakan premis-premis. Pada masing-masing premis memiliki satu istilah yang juga ada pada proposisi kesimpulan dan ada pada proposisi premis lainnya.
Contoh paling sederhana:
• Setiap binatang akan mati (Premis major)
• Semua manusia adalah binatang (Premis minor)
• Oleh karenanya, semua manusia akan mati (Simpulan)