Terjadinya perbuatan tercela dalam di dunia bisnis nampaknya tidak menurun, bahkan cenderung semakin meningkat. Tindakan mark up,
inkar janji, kolusi dan suap, tidak mengindahkan kepentingan
masyarakat, serta tidak memedulikan lingkungan hidup merupakan contoh
pengabaian pengusaha terhadap etika bisnis.
Mungkin ada yang bertanya, apakah bisnis memang perlu memperhatikan etika? Bukankah bisnis dan etika merupakan dua hal yang berbeda? Sering pula ada anggapan bahwa etika bisnis itu hanya terdapat dalam teori, kenyataannya, jika mau untung, sering kali kita melupakan etika. Benarkah demikian?
Mungkin ada yang bertanya, apakah bisnis memang perlu memperhatikan etika? Bukankah bisnis dan etika merupakan dua hal yang berbeda? Sering pula ada anggapan bahwa etika bisnis itu hanya terdapat dalam teori, kenyataannya, jika mau untung, sering kali kita melupakan etika. Benarkah demikian?
Sebelumnya kita harus mengetahui
pengertian etika. Banyak definisi yang berkaitan dengan etika. Etika
berbeda dengan hukum atau regulasi. Jika melanggar hukum, sanksinya
jelas berupa pidana atau perdata. Sedangkan melanggar etika, sanksinya
tidak jelas, hanya sanksi moral semata atau sanksi dari Yang Maha Kuasa.
Maka, melanggar etika belum tentu belum tentu melanggar hukum.
Akibatnya, sering etika tidak begitu diperhatikan.
Kamus Besar Bahasa Indonesia mengatakan
etika adalah “ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang
hak dan kewajiban moral (akhlak).” Menurut Wikipedia, etika adalah
cabang utama filsafat yang mempelajari nilai atau kualitas yang menjadi
studi mengenai standar dan penilaian moral. Tetapi, menurut John Calvin,
etika tertinggi adalah dari Pencipta manusia.
Ekonomi Nasional
Hukum yang Tuhan berikan justru memberikan kebebasan manusia untuk
benar-benar menjadi manusia yang seutuhnya yang sesuai dengan keinginan
Pencipta. Seharusnya sanksi moral yang umumnya tidak jelas merupakan
sanksi yang paling berat bagi umat beriman.
Kita sering kali terjebak dengan apa yang
terlihat dan menempatkannya sebagai sesuatu yang lebih bernilai
daripada hal-hal yang tidak kelihatan. Kita tidak menyadari bahwa sangat
banyak hal yang tidak kelihatan, tetapi justru memiliki porsi yang luar
biasa besar dan penting.
Sebagai contoh, seroang pedagang kamera
menjual kemera dengan mutu rendah atau cacat. Penjual berhasil
menyembunyikan cacat itu, sehingga tidak diketahui pembeli. Penjual
mengingatkan pembeli bahwa barang yang telah dijual tidak bisa ditukar
atau dikembalikan. Setelah beberapa waktu, pembeli komplain dengan
meminta untuk mengantinya. Penjual berdalih, bahwa waktu terjadi
transaksi barangnya baik-baik saja.
Salahkah si penjual?
Secara hukum, bisa jadi benar. Tetapi,
dari sisi etika bisnis, jelas-jelas salah. Dari semula sebenarnya
penjual mengetahui barang tersebut ada cacat, tetapi tidak memberitahu
si pembeli. Dalam jangka pendek, bisnis yang tidak memperhatikan etika
mungkin mendatangkan keutungan. Tetapi, dalam jangka panjang, akan
terbentuk opini masyarakat mengenai toko tersebut, yaitu menjual barang
rusak atau cacat. Lambat laun pembeli cenderung menurun. Jadi, sanksi
etika itu hanya berbentuk sanksi moral dan baru terlihat dalam jangka
panjang.
Contoh di atas memperlihatkan bahwa etika
itu penting. Secara sederhana etika bisnis dapat diartikan sebagai
sebuah aturan main yang tidak mengikat, karena bukan hukum. Tetapi,
dalam praktik bisnis sehari-hari etika bisnis dapat menjadi pedoman bagi
aktivitas bisnis yang dijalankan.
Pengabaian etika bisnis tidak hanya
berdampak kerugian bagi masyarakat, tetapi juga bagi tatanan ekonomi
nasional. Disadari atau tidak, para pengusaha yang tidak memperhatikan
etika bisnis akan menghancurkan nama mereka. Peribahasa mengatakan,
“gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang.”
Ketika seseorang meninggal, ia akan meninggalkan namanya. Problemnya
adalah apa yang dilakukan selama hidup.
Banyak orang yang mengejar fast money dan easy money
dengan segenap tenaga, bahkan tidak memikirkan orang lain. Apakah orang
akan mengenang namanya karena banyaknya uang yang dimiliki? Mungkin
namanya akan dirusak karena banyak orang dirugikan semasa hidup. Kita
harus bekerja baik-baik, peduli terhadap orang lain atau pun juga alam
sekitar, agar reputasi kita dikenang dengan baik nantinya.
Bisnis pada waktu dulu hanya berdasarkan
trust antar individu. Tidak berbelit-belit dan rumit seperti sekarang.
Kita bisa melihat kesederhanaan di dalamnya. Sederhana itu tetap yang
terbaik. Namun, sering “kemajuan” zaman, standar moral etika pun
mengalami kemunduran luar biasa. Etika kerap dengan gampang dilanggar
karena ego individu yang tak terkendalikan, dalam hal ini adalah pelaku
bisnis yang serakah.
Kredibilitas Bangsa
Etika harus tumbuh dari moral seseorang berdasarkan iman yang
diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Orang beriman dituntut untuk
manyaksikan imannya dalam kesehariannya. Bukan menebar kemunafikan
dengan cara-cara ekstrem, tetapi dengan ketulusan dalam hatinya. Ikan
yang terbawa arus adalah ikan yang mati, namun ikan yang melawan arus,
itu ikan yang yang hidup.
Orang bijak bisa membedakan mana salah
atau benar, walau banyak yang menentangnya, ia akan terus melawan arus.
Pelaku-pelaku bisnis juga seharusnya sama. Setiap kita diberikan hati
nurani dari Tuhan sebagai “alarm” terhadap sesuatu yang salah. Kecuali
ia tekan hati nuraninya, sehingga makin lama tidak bersuara lagi,
lama-kelamaan seperti ikan mati yang ikut arus.
Kutipan menarik dari Abraham Lincoln: “You
may fool all of the people some of the time, you can even fool some of
the people all the time, but you can’t fool all of the people all of the
time.“ Kebenaran tidak dapat ditutupi. Kredibilitas bangsa
dibangun dari individu-individu. Kebangunan yang sejati dari suatu
bangsa ditandai dengan kebangunan etika dari masyarakatnya. Mari kita
bersama-sama hidup dengan beretika, termasuk berbisnis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar